Harga Pangan Dunia Capai Rekor Tertinggi

Organisasi pangan dan pertanian PBB (FAO) memperingatkan akan kenaikan harga pangan dunia sejak bulan Januari 2011.

Dalam catatan FAO, indeks rata-rata kenaikan harga pangan mencapai 231 point pda bulan januari, atau naik 3,4% dibandingkan Desember 2010.

Kenaikan ini sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga gandum dan jagung, dua jenis komoditi pangan yang sedang langka pasakonnya.

Ini disebut-sebut sebagai level tertinggi sejak tahun 1990.

Badai salju di AS dan banjur di Australia disebut-sebut turut membuat kenaikan ini akan terus berlanjut. Akan tetapi, selain faktor bencana alam dan perubahan iklim, kebijakan pemerintah AS, Eropa, dan Brazil untuk mengubah pangan menjadi bio-fuel turut menjadi penyebab.

Faktor lainnya, bahwa harga pangan sudah dispekulasikan oleh pasar internasional dan keuntungannya jatuh ke tangan segelintir korporasi raksasa di sektor agrobisnis.

Ekonom FAO dan sekaligus ahli perberasan, Abdolreza Abbassian, mengatakan: “gambaran baru memperlihatkan bahwa tekanan pada harga pangan dunia akan sulit merea.”

“Harga tinggi ini akan bertahan hingga bulan dan tahun-tahun mendatang,” katanya.

Abbassian berkata: “Ini masalah besar, terutama bagi negara-negara yang mengalami defisit bahan makanan dan pendapatan rendah, dan harus berhadapan dengan pembiayaan lebih besar untuk impor dan mensuplai kebutuhan masyarakat miskin yang sebagian pendapatannya dihabiskan untuk membeli makanan.”

Kerusuhan soal pangan juga terjadi di banyak tempat lain, seperti Srilangka, Pakistan, Bangladesh, Yordania, Mozambik, dan masih banyak yang lain.

Memicu pergolakan sosial

Krisis pangan telah memicu pergolakan sosial di sejumlah negara, bahkan berujung pada penggulingan rejim-rejim yang tidak bisa mengontrol harga pangan. Mula-mula di Tunisia, lalu ke Aljasari, dan kemudian ke Mesir.

Hari ini, 6 Februari, orang-orang lapar menyerbu kantor-kantor pemerintahan dan polisi, meski sebelumnya mereka ditembaki. Di Hamza, di provinsi Diwaniya, 180 kilometer selatan Baghdad, rakyat masih melanjutkan perlawanan memprotes kelangkaan pangan.

“Ini akan menjadi revolusi kaum yang lapar dan hina di Irak, dan akan mengikuti revolusi di Mesir dan Tunisia,” ujar seorang demonstran.

Diwaniya, yang sebagian besar penduduknya beragama syiah, merupakan salah satu daerah termiskin di Irak. Sebuah laporan menyebutkan, seorang demonstran tewas dan tiga lainnya terluka saat polisi menembaki kerumunan rakyat yang sedang marah.

Kerusuhan serupa juga terjadi di Haiti. “Jika pemerintah tidak bisa menurunkan harga makanan dan biaya kebutuhan hidup, silahkan mundur. Jika polisi atau PBB hendak menembak kami, silahkan, itu bagus. Setidaknya kami mati karena peluru, bukan karena kelaparan,” demikian dikatakan demonstra di Port-au-Prince, Haiti.

Mengancam Indonesia

Meski Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor komoditi pertanian, tetapi itu cerita di masa lalu. Sekarang ini, hampir semua kebutuhan pangan Indonesia sudah dimpor dari luar, termasuk beras, kedelai, daging, susu, dan lain sebagainya.

Antara tahun 1998-2001, kita sudah menjadi negara importir beras terbesar di dunia; dan kini setiap tahun kita impor gula 40 persen dari kebutuhan nasional; impor sekitar 25 persen konsumsi nasional daging sapi; impor satu juta ton garam yang merupakan 50 persen dari kebutuhan nasional; dan impor 70 persen kebutuhan susu.

Dengan peranan impor yang semakin dominan, maka produksi pangan nasional Indonesia juga makin merosot. Pemerintah juga tidak punya perhatian untuk menyelamatkan sektor pertanian, tetapi malah menyerahkannya pada WTO dan korporasi-korporasi raksasa agrobisnis dunia.

Tanda-tanda akan adanya pengaruh krisis pangan di Indonesia sudah nampak. Harga cabe, beras, dan gula terus melonjak naik dalam beberapa bulan terakhir.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid