Ghassan Kanafani, Pejuang Revolusioner Palestina

8 Juli 45 tahun lalu, Palestina kehilangan seorang pejuang revolusionernya: Ghassan Kanafani. Agen rahasia Israel, Mossad, membunuhnya dengan sebuah bom yang dipasang di mobilnya.

Waktu itu Kanafani dikenal sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam gerakan pembebasan Palestina. Dia menjadi juru-bicara dan anggota Politbiro dari kelompok perlawanan bernama Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP).

Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemilik pena yang tajam. Artikel-artikelnya menjambak langsung kepentingan imperialisme di balik agresi Israel terhadap Palestina. Ia memimpin sejumlah media kiri yang menjadi terompet perlawanan, seperti Al-Ra’I (opini), Al Muharrir (pembebas), dan Al-Hadaf (Sasaran).

Tak hanya itu, Kanafani juga dikenal sebagai penulis novel dan cerpen yang hebat. Novel dan cerpennya selalu berbicara tentang kondisi rakyat Palestina yang hidup terlantar di berbagai kamp pengungsian di berbagai negara.

Kanafani lahir di Akke, Palestina, pada 9 April tahun 1936. Ayahnya seorang pengacara. Lantaran itu, Ia bisa mengenyam pendidikan masa kecil yang baik.

Namun, semua itu berubah total di tahun 1948. Tahun itu Israel mulai melancarkan agresi terhadap Palestina. Sedikitnya 800.000 rakyat Palestina, termasuk Kanafani dan keluarganya, terusir dari tanah-air dan rumah mereka sendiri. Rakyat Palestina mengenang kejadian ini sebagai “Al-Nakba”. Kanafani dan keluarganya terpaksa mengungsi ke Lebanon dan Suriah.

Di Damaskus, Suriah, Kanafani melanjutkan studi. Ia sempat belajar sastra Arab di Universitas Damaskus. Selain itu, ia menyumbangkan waktu senggangnya untuk mengajar anak-anak Palestina di kamp-kamp pengusian. Namun, belum sempat menamatkan kuliah, Kanafani dikeluarkan dari kampus.

Kanafani kemudian pindah ke Kuwait. Di sana ia bergabung dengan Gerakan Nasionalis Arab (ANM), sebuah organisasi yang didirikan oleh George Habash di tahun 1940-an. Organisasi ini memiliki pandangan politik nasionalis-kiri dan anti-imperialis. Di Kuwait, Kanafani menjadi editor koran yang berafilisasi dengan ANM, Al-Ra’I (opini). Di sini juga muncul ketertarikan Kanafani terhadap ajaran marxisme.

Tahun 1960, ia pindah ke Beirut, Lebanon. Di sana ia makin terbenam dalam aktivitas politik bersama ANM. Dalam perkembangannya, ANM makin banyak dipengaruhi oleh ajaran sosialisme Nasserisme. Ia menjadi editor di koran yang menjadi corong propaganda nasserisme, Al Muharrir (pembebas).

Di tahun itu juga Kanafani banyak menulis novel dan cerpen. Ia menelurkan novelnya yang terkenal, Men in the Sun. Novel ini menceritakan tiga orang Palestina yang berusaha menyeberangi perbatasan antara Irak dan Palestina untuk mencari pekerjaan. Untuk bisa melewati berbagai pos penjagaan di perbatasan, ketiga orang Palestina ini dibantu oleh seorang sopir. Mereka disembunyikan di tangki air kosong di belakang truk. Di tengah gurun pasir dan terik matahari, tangki bukanlah tempat persembunyian manusia yang aman. Dan benar saja, setelah melalui beberapa pos pemeriksaan, sang sopir membuka tangki untuk melihat penumpangnya. Ketiganya sudah mati.

Karyanya yang lain, Returning to Haifa (1970), juga mendapat pengakuan banyak orang. Novel ini menceritakan pasangan suami-istri Palestina yang kembali mencari rumah tuanya di Haifa, setelah ditinggalkannya selama 20 tahun. Selain itu, pasangan ini juga mencari anaknya yang terpisah saat kejadian pengusiran. Yang terjadi, pasangan suami-istri ini berhasil menemukan rumahnya, tetapi telah dihuni oleh seorang wanita Yahudi. Tak hanya itu, anaknya juga masih hidup dan diadopsi oleh wanita Yahudi tersebut.

Di tahun 1967, George Habbash mendirikan organisasi perlawanan berideologi marxis, yakni Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Kanafani segera menjadi bagian dari alat perlawanan yang baru ini. Dia ditunjuk sebagai salah satu juru-bicaranya. Selain itu, Kanafani juga menjadi pemimpin redaksi dari koran resmi PFLP, Al-Hadaf (Sasaran).

Sebagai seorang marxis, Kanafani selalu memihak kepada klas tertindas, terutama kaum buruh dan tani. Karena itu, sebagai intelektual dan novelis, karya-karyanya pun terang-terangan memihak kepada klas-klas sosial yang diperjuangkannya. Ia juga terang-terangan bilang bahwa koran yang dipimpinnya, Al Hadaf, adalah kawan seperjuangan dari kaum yang tertindas.

Dalam soal sastra, Kanafani juga tegas. Menurutnya, sastra Palestina tidak hanya dituntuk berbicara tentang keadaan negeri dan rakyatnya di bawah pendudukan Israel. Lebih penting dari itu, kata Kanafani, sastra Palestina harus mengabdi kepada revolusi dan pembebasan Palestina.

Dalam melihat persoalan rakyat Palestina, Kanafani selalu mendasarkan analisanya pada analisa ekonomi-politik marxis. Ia menjadi sadar, agresi Israel ke Palestina bukanlah karena motif agama ataupun rasial, melainkan didorong oleh motif ekonomi-politik, yakni imperialisme.

Karena itu, dengan jernih dia bilang, perjuangan pembebasan Palestina bukan hanya tugas rakyat Palestina, melainkan tugas kaum revolusioner dimanapun mereka berada. “Karena perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan massa yang dihisap dan ditindas di zaman kita,” tulisnya.

Ia juga melihat, kontradiksi pokok yang dialami oleh Palestina dan negara-negara Arab, juga bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin, adalah imperialisme. Karena itu, ia menyerukan perlawanan berskala internasional terhadap imperialisme.

“Imperialisme telah membaringkan tubuhnya di seluruh dunia, kepalanya di Asia Timur, jantungnya di Timur Tengah, urat nadinya mencapai Afrika dan Amerika Latin. Dimanapun kau menyerangnya, kau merusaknya, dan kau sudah mengabdi pada Revolusi Dunia,” katanya.

Dalam konsep strategi perjuangan, Kanafani dan PFLP banyak dipengaruhi oleh revolusi Tiongkok dan Vietnam. Menurut Kanafani, perjuangan bersenjata merupakan metode yang paling tepat untuk membebaskan rakyat Palestina dan bangsa-bangsa tertindas dari kolonialisme dan imperialisme.

Menjelang tahun 1970-an, PFLP berupaya menarik perhatian dunia terkait nasib rakyat Palestina melalui aksi pembajakan pesawat. Aksi pembajakan pesawat yang terkenal adalah pembajakan pesawat Trans World Airlines (TWA) pada bulan Agustus 1969 dan pesawat milik Isral El Ai pada september 1970.Keduanya dilakukan oleh seorang perempuan aktivis PFLP, Laila Khalid.

Aksi-aksi PFLP ini membuat Israel geram. Puncaknya, pada tahun 1970, dua anggota tentara merah Jepang menyerang sejumlah penumpang di bandara Lod di Tel Aviv. PFLP, yang memang berkawan dengan tentara merah Jepang, dituding bertanggung-jawab atas serangan itu.

Sebagai balasannya, Israel menggerakkan agen Mossad untuk membunuhi pimpinan atau tokoh kunci PFLP. Dan, pada 8 Juli 1972, sekitar pukul 10.30 pagi, di Beirut, agen Mossad sudah memasang bom di bawah kursi mobil yang dikendarai oleh Kanafani. Kanafani dan keponakannya, Lamees, gugur akibat serangan bom itu.

Pembunuhan memang selalu mengintai setiap pejuang. Kanafani sangat memahami itu sebagai resiko dan jalan yang mesti ditempuh dalam sebuah perjuangan. Seperti pesan yang ditulisnya sendiri kepada kawan-kawan seperjuangannya: “kepada kawanku yang telah pergi dan yang masih tinggal: kau tahu bahwa ada dua jalan dalam kehidupan, dan hanya salah satu jalan yang bisa ditempuh. Kau jumpai jalan ketundukan dan kau menampikknya. Dan kau jumpai jalan perlawanan dan kau susuri. Jalan ini dipilih untukmu untuk kau jalani.”

Memang, agen Mossad berhasil membunuh Kanafani secara fisik. Namun, karya-karya dan semangatnya masih terus hidup dan menginspirasi setiap kaum muda Palestina untuk memilih jalan perjuangan untuk membebaskan negerinya.

Kusno, anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid