Mayoritas rakyat Indonesia kembali dipaksa mengecangkan ikat pinggangnya. Bagaimana tidak? Lebaran masih lama, namun harga-harga kebutuhan pokok sudah merambat naik. Belum lagi, kenaikan TDL sudah memicu kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok dan, tentu saja, melemparkan ribuan buruh ke jurang PHK. Hingga bulan Maret 2010, menurut versi BPS, jumlah penduduk miskin telah mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33% (Angka ini pun menuai protes, karena menggunakan kriteria yang tidak relevan).
Disisi lain, kehidupan para pejabat negara seperti berbanding terbalik dengan keadaan rakyatnya. Para pejabat berlimpah fasilitas dan bergelimang kemewahan. Mulai dari rumah dinas sampai kebutuhan dapurnya dipenuhi oleh negara. Berbagai tunjanganpun mereka terima dengan jumlah yang “aduhai”, diluar gaji pokok yang diterima yang jauh diatas rata-rata pendapatan penduduk, plus bonus-bonus yang kadang tak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh saja, Gaji Gubernur Bank Indonesia yang disampaikan oleh Badan Anggaran DPR mencapai Rp 265 juta per bulan. Sungguh sangat timpang sekali dengan gaji yang didapat seorang buruh di Jakarta yang hanya sebesar Rp 1.118.000 per bulannya.
Gaya hidup para pejabat negarapun sungguh sangat mencengangkan. Pola komsumtif mewabah seperti penyakit menular yang tak bisa dihentikan. Mulai dari pejabat daerah sampai pejabat tinggi negara. Belanja ke Singapura menjadi trend dikalangan para pejabat, tak heran jika Singapura menarik untung sebesar 2,15 Milyar USD dari turis Indoensia yang membelanjakan uangnya disana.
Situasi sekarang ini, yang juga seringkali dipaparkan oleh sejumlah pejabat negara, adalah masa-masa yang sulit, berhadapan dengan krisis ekonomi, defisit anggaran, dan persoalan bencana alam yang membutuhkan dana besar untuk rehabilitasi dan perbaikannya.
Seruan untuk melakukan penghematan yang disampaikan pemerintah dalam menghadapi krisis yang berkepanjangan ini hanya berlaku untuk rakyat, tapi tidak bagi mereka. Lihat usulan revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010, jumlah jor-joran untuk “kebutuhan kerja” para pejabat negaraterus meningkat, sebagai contoh anggaran kunjungan anggota DPR keluar negeri sebesar Rp. 162,9 Milyar, jumlah ini naik sebesar 46,6 % dari jumlah sebelumnya.
Kebijakan ini sangat berbeda dengan negara tetangga kita, Malaysia, yang ketika berhadapan dengan krisis energi dunia, justru memangkas gaji menteri dan seluruh pejabat tingginya sebesar 10%. Satu paket dengan kebijakan itu, Badawi, Perdana Menteri Malaysia, juga mengurangi fasilitas liburan ke luar negeri bagi para pejabat tinggi. Hasilnya, gerakan ini mampu menghemat anggaran negara sebesar USD613 juta (Rp5,71 triliun).
Venezuela, ketika berhadapan dengan jatuhnya harga minyak dunia, juga melakukan hal yang sama. Presiden Chavez mengumumkan pemotongan gaji seluruh pejabat senior sebesar 20% untuk menyeimbangkan anggaran. Pada saat itu, seluruh menteri Chaves mendukung keputusan ini, disamping dukungan mayoritas anggota parlemen.
Lain lagi dengan Fernando Lugo, presiden Paraguay yang dikenal sebagai “uskup kaum miskin”. Saat menjelang upacara pelantikannya, Fernando Lugo telah menyatakan penolakannya untuk menerima gaji sebagai Presiden sebesar 4.000 dollar AS (sekitar Rp 37 juta) per bulan.
Ada filosofi kepemimpinan kuno yang mengatakan, “seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi rakyatnya.” Jadi, sebelum keluar anjuran untuk berhemat-hemat di kalangan rakyat, maka seluruh pejabat negara harus memulai pola hidup sederhana tapi tetap memili etos kerja yang tinggi. Dengan begitu, tidak saja kita bisa menghemat anggaran belanja negara da menggunakannya untuk kepentingan rakyat, tapi juga mempertebal semangat nasional (pemimpin dan rakyat) untuk menghadapi krisis.