Evo Morales Mundur Karena Terdesak Militer dan Kudeta

Presiden Bolivia Evo Morales meletakkan jabatannya, Minggu (10/11/2019, setelah mendapat tekanan dari petinggi Militer dan Kepolisian.

Untuk diketahui, Bolivia diguncang aksi demonstrasi disertai kekerasan yang dilakukan oleh oposisi sayap kanan sejak usai Pemilu tanggal 20 Oktober lalu.

Dalam Pemilu itu, Evo unggul 10 persen atas saingan terdekatnya, Carlos Mesa. Tetapi pihak oposisi sayap kanan menolak hasil pemilu lewat aksi protes jalanan disertai kekerasan. Meskipun tanpa menyajikan bukti-bukti kecurangan.

Tak hanya memblokade jalan raya, oposisi sayap kanan juga menghentikan paksa aktivitas perdagangan. Toko-toko berhenti berjualan. Beberapa kantor berita dibakar.  

Menghadapi isu “kecurangan Pemilu”, Evo segera meminta Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) untuk turun tangan melakukan audit. Namun, langkah ini tidak menghentikan kekerasan jalanan oleh sayap kanan.

Belakangan, Evo menyetujui saran dari OAS untuk mendorong Pemilu ulang. Akan tetapi, lagi-lagi oposisi sayap kanan tidak menghiraukan jalan damai ini.

Protes dengan kekerasan terus berlanjut. Blokade jalanan tak berhenti. Menghadapi kekerasan oposisi sayap kanan, pendukung Evo Morales tentu tak tinggal diam.

Pendukung pemerintah, yang sebagian besar masyarakat adat dan buruh tambang, turun ke jalan untuk mencegah demonstran mendekati Istana Kepresidenan.

Bentrokan jalanan tak terhindarkan. Dalam bentrokan itu, beberapa pendukung oposisi tewas. Kejadian ini segera dijadikan “dalih” bagi petinggi Militer dan Polisi untuk mendukung oposisi sayap kanan.

Atas nama perdamaian dan stabilitas politik Bolivia, Pimpinan tertinggi militer Bolivia, Jenderal Williams Kaliman, langsung memaksa Presiden Evo Morales untuk mengundurkan diri.

Sementara di jalanan, Polisi dan tentara sudah mengambil paksa kantor-kantor pemerintah. Sebuah video menunjukkan, polisi bertopeng menurunkan paksa bendera Wiphala, bendera persatuan masyarakat asli Bolivia, di Istana Kepresidenan.

Sebuah Kudeta

Bau kudeta tercium kuat di balik pengunduran diri Presiden Evo Morales ini.

Beberapa saat sebelum pemilu, Komite Sipil, sebuah organisasi perlawanan oposisi yang beranggotakan banyak bekas tentara, sudah berulangkali menggelar rapat-rapat.

Salah satu rekaman rapat mereka bocor ke publik. “Kami akan melancarkan kudeta jika Evo menang lagi,” demikian bunyi pernyataan mereka dalam rekaman yang bocor, seperti diungkap Cindy Forster, seorang sejarawan, di TeleSUR (20/10/2019).

Dan memang benar demikian. Begitu Evo dinyatakan menang Pemilu dengan selisih 10 persen, Komite Sipil langsung tampil menonjol memimpin perlawanan jalanan.

Luis Fernando Camacho, pemimpin Komite ini, tampil sebagai tokoh oposisi paling menonjol. Ia dielu-elukan media barat sebagai ikon perjuangan rakyat Bolivia memprotes kecurangan Pemilu.

Luis Camacho adalah seorang kanan-fasis. Dia punya sejarah panjang dalam penyebaran rasisme dan kebencian terhadap masyarakat asli Bolivia sejak 2008, terutama di kota kelahirannya, Santa Cruz de la Sierra.

Dia diketahui sangat dengan dekat organisasi pemuda fasis di Santa Cruz, Cruceñista Youth Union. Organisasi ini memperjuangkan pemisahan Santa Cruz, yang sebagian besar dihuni kulit putih dan mestizo, dari Bolivia.

Bolivia memang punya sejarah panjang rasisme dan diskriminasi terhadap warga asli. Sejak merdeka tahun 1825 dari kolonialisme Spanyol, masyarakat asli tidak pernah mendapat tempat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Bolivia.

Baru di tahun 2006, lewat partai Gerakan Menuju Sosialisme (MAS), Evo Morales berhasil menjadi orang asli pertama yang menjadi Presiden Bolivia. Sejak itu pula hak-hak dan martabat orang asli Bolivia dipulihkan.

Tetapi itu tak menyenangkan bagi Oligarki Bolivia, yang sebagian besar berkulit putih dan mestizo. Mereka mencari berbagai cara untuk menggulingkan Evo Morales.

Tak mengherankan, aksi-aksi protes sayap kanan di Bolivia punya dimensi kelas dan rasisme. Sebagian besar mereka adalah kelas menengah ke atas. Dan sebagian besar mereka adalah kulit putih dan mestizo.

Rasisme sayap kanan itu tampak nyata dalam kasus penculikan dan penyiksaan Patricia Arce, Walikota Vinto, sebuah kota kecil di Cochabamba. Patricia adalah politisi berhaluan kiri dan anggota partai Gerakan untuk Sosialisme (MAS).

Tanggal 6 November lalu, ia diculik dari rumahnya dan diarak di jalanan oleh oposisi sayap kanan. Tak hanya diseret, rambutnya dicukur dan dilumuri cat oleh demonstran oposisi.

Tak hanya rasis, Camacho juga dikenal seorang religius-konservatif. Dia penentang utama kebijakan Evo Morales yang mengakui hak-hak LGBT.

Rasisme dan ketidakinginan kulit putih Bolivia diperintah oleh masyarakat asli bertemu dengan kepentingan luar, dalam hal ini Amerika Serikat, yang tidak menginginkan keberlanjutan pemerintahan Evo Morales.

Sudah lama AS merindukan pelengseran Evo Morales. Tentu bukan tanpa sebab. Sejak berkuasa tahun 2006, Evo melakukan beberapa kali nasionalisasi terhadap perusahaan asing.

Tak hanya itu, Evo juga membawa ekonomi Bolivia menjauh dari skema neoliberalisme. Sejak itu, kekayaan alam Bolivia tak lagi mengalir ke kantor korporasi asing, melainkan pada belanja sosial seperti pendidikan dan kesehatan.

Baca: 10 Kemajuan Penting Di Bawah Pemerintahan Evo Morales

Tidak mengherankan, jauh sebelum kejadian ini, AS terlibat aktif menyokong oposisi Venezuela, dari Gonzalo Sanchez de Lozada (Presiden Bolivia 2002-2003) hingga Carlos Mesa (Capres Pemilu 20 Oktober 2019).

Seperti diungkap Jaringan Radio Pendidikan Bolivia (Erbol) baru-baru ini, setidaknya ada 16 rekaman pembicaraan antara pejabat AS dengan oposisi dan petinggi militer Bolivia.

Militer Bolivia, yang punya sejarah panjang dengan imperialisme Amerika Serikat, menjadi faktor kunci keberhasilan oposisi menggulingkan Evo Morales.

Protes jalanan menolak hasil Pemilu sudah dirancang. Kerusuhan jalanan dipersipakan. Lengkap dengan reportase media-media internasional. Lalu, begitu korban berjatuhan, Militer yang sudah menunggu momentum yang tempat melaksanakan tugasnya: memaksa Evo Morales mundur. Ini jelas sebuah kudeta.

Itulah yang terjadi. Oligarki Bolivia dan militer, yang disokong oleh Amerika Serikat, berhasil menyingkirkan Presiden berhaluan kiri Bolivia. Ini keberhasilan oligarki menghancurkan demokrasi!

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid