Cerpen: Do’a

Ban sepeda si mas agak kempes ini pagi. Mungkin kurang angin tapi bisa juga bocor halus (semoga tidak sekeliling). Namun itu bukan masalah, badanku kecil mungil dan badan si mas tinggi kurus. Dengan beban tubuh kami berdua yang mungkin hanya sekitar 90 atau 95 kg, dengan ban yang agak kempes ini aku yakin kami akan sampai juga di tujuan. Kupeluk pinggang si mas dari belakang dengan tangan kananku, sementara tangan kiri memegang rantang makan siang kami. Satu rantangku, satu rantang si mas dan dua botol aqua besar untuk kami masing-masing.

Jalan yang kami tempuh adalah jalan kampung, karena kalau lewat jalan aspal, aku sering merasa ketakutan, maklumlah mobil yang lewat di jalan itu guede-guede. Apalagi kalau yang lewat bus-bus besar dan truk-truk besar. Entah karena posisi supirnya berada jauh lebih tinggi dari posisi kami yang naik sepeda, kayaknya sopir tersebut tidak mengetahui bahwa ada kami yang naik sepeda yang sudah sangat mepet ke pinggir jalan yang didahuluinya. Atau bisa juga karena supir itu menganggap bahwa jikapun terjadi kecelakaan, toh kami hanyalah sepasang penumpang sepeda. Dari segi apapun dia akan menang. Dari besar tubuh, mas ku kurus. Dari ukuran kendaraan, dia naik truk atau bus besar, kami naik sepeda. Mau adu backing, dia bisa jadi punya boss yang kuat, sementara kami cuma sepasang suami istri yang tidak punya apa-apa selain sepeda dan cinta (alah…!)

Awalnya si mas protes kalau aku ajak lewat jalan kampung.

“Ada jalan apik, kok malah milih jalan ringsek. Mana jauh, lobang sana-sini. Aneh!” omelnya. Tapi itu cuma seminggu pertama, minggu kedua setelah tahu bahwa istrinya memang ngeri bukan buatan, si mas tidak pernah ngomel lagi. Malahan sekarang dia yang justru kayaknya lebih bisa menikmati perjalanan pagi kami.

“Wah, padinya udah mulai menguning”
“Coba pipit-pipit itu makannya kerikil, kan tidak perlu bermusuhan dengan petani”
“Eh, kalau kita punya tanah dan jadi petani, enak gak ya?”
Dan seribu komentar lain yang tidak menunjukkan kejengkelan karena harus lewat jalan yang lebih jauh dan lebih ringsek. Mas memang baik, pengertian n sabar. Malah tetangga-tetangga bilang si mas ini sih udah masuk kategori takut pada istri. Hik..

Itulah yang terjadi setiap pagi padaku. 13 kali dua minggu. Maksudnya dalam dua minggu, kami hanya bisa libur sekali. Begitu jam kerjaku, begitu juga jam kerja si mas.

Tak terasa kami sampai di tujuan. Tujuan pertama sepeda ini adalah tempat kerjaku, sebuah pabrik pengolahan kayu. Yang merubah kayu gelondongan menjadi triplek. Plywood bahasa inggrisnya. Dan seperti pagi-pagi kemaren, pagi inipun aku tidak terlambat. Terlambat adalah kata-kata haram buatku dan kawan-kawan. Haram karena itu berarti potongan gaji. Setiap menit keterlambatan akan mengurangi upah kami. Maka kau tidak perlu heran kawan, kenapa kami selalu datang tepat waktu. Jam 7 kami sudah bergerombol di depan pintu gerbang pabrik. 7.10 gerbang terbuka dan kami langsung menuju mesin absen. Sebuah mesin mirip timbangan yang kedalamnya kami masukkan kartu absen kami. Ceklok kami memanggilnya. Si ceklok ini akan menuliskan jam kedatangan kami, jam kepulangan kami dengan sangat jujur. Tidak akan berbohong. Kejujuran yang kadang bisa jadi sangat tidak manusiawi. Kejujuran sebuah mesin yang (entah kenapa) hanya dihadapkan kepada kami, buruh pabrik.

Dini, kawanku satu divisi malah akhirnya dipecat karena si ceklok memperlihatkan data bahwa yang bersangkutan terlambat sebanyak 23 kali dalam sebulan. Baru bulan kemaren. Bulan Oktober. Padahal hal itu bukan karena Dini pemalas atau melawan terhadap aturan pabrik. Sama sekali bukan. Tapi karena anaknya yang sulung yang kelas dua SD kena malaria dan tidak sembuh-sembuh. Jadi dia terpaksa harus pindah rumah ke rumah Mboknya. Dan rumah Mboknya ini 5 km lebih jauh dari rumahnya. Begitulah selama Bulan Oktober kemaren. 1 November ketika hari gajian. Dini mendapat gaji yang sudah dipotong plus sebuah surat pemutusan hubungan kerja. Dini tidak terima, dia protes, dia menghadap ke mandornya, mandornya membawa ke supervisor, supervisor membawanya ke manajer personalia. Di sana setengah jam, satpam menyeretnya dari ruangan manajer. Dini menangis. Mandor juga sedih tapi tidak menangis. Supervisor malah kayaknya sudah lupa dengan Dini. Satpam marah-marah karena habis dimarahi manajer.

Tidak ada yang salah. Manajer hanya menegakkan aturan. Aturan pabrik. Negeri ini negeri aturan, negeri hukum. Aturan dan hukum harus ditegakkan.

‘Bagi karyawan perempuan, izin tidak masuk, izin terlambat hanya boleh jika dalam kondisi hamil atau sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter perusahaan. Izin karena anak sakit, jelas tidak terdapat dalam aturan tersebut. Dini yang salah. Dan sebagai bukti bahwa Dini yang salah, Tuhan mengukumnya dengan mencabut nyawa anaknya tepat dihari Dini dipecat.

Pola pikir itulah yang sepertinya terus dipompakan kedalam otak kami. Jangan melawan. Jangan protes. Jangan demo. Karena pabrik ini adalah hidup kami. Pabrik tutup, kami mati. Melawan pabrik saja tidak boleh, apalagi melawan pemilik pabrik. Kalau mau dihitung-hitung, kaum buruhlah yang berhutang budi pada pabrik terutama pemilik pabrik. Kami harus bersyukur dikasi kerja. Aku terima semua itu. Tapi juga aku catat semuanya.

Aku berkerja mulai 7.15 sampai 17.15. Istirahat 3 kali. 10.00 sampai 10.15. 12.00 sampai 12.30 dan 16.00 sampai 16.30. Dalam 3 kali masa istirahat itu, sebenarnya hanya istirahat kedua saja yang bisa kami gunakan. Itupun sudah dikejar waktu. Makan, ke kamar kecil dan merokok bagi buruh laki2. Malah sering kulihat untuk menghabiskan sebatang rokokpun tidak sempat. Jadilah rokok yang masih setengah itu dimatikan untuk dikembalikan kedalam kotak dan dihisap lagi dilain waktu.

Istirahat pertama biasanya malah kami gunakan untuk membersihkan sampah sisa-sisa kerja kemaren. Karena walaupun sorenya (istirahat ketiga) sudah kami gunakan untuk bersih-bersih areal kerja dengan mengumpulkan sampah yang ada, tapi orang yang bertugas mengangkut sampah biasanya tidak pernah mengangkut sampah itu dengan sempurna. Selalu saja ada yang tercecer. Tugas kamilah membersihkan sampah itu di masa istirahat pertama.

Ini semua kami lakukan, karena pabrik ini punya semboyan : SELAMAT, DISIPLIN DAN BERSIH.

Aku bekerja pada bagian penyusunan sobekan-sobekan kayu menjadi sebuah lembaran-lembaran triplek. Kayu gelondongan yang sudah diserut (ingat peruncing pensil?) akan menghasilkan lembaran-lembaran tipis kayu. Bila gelondongan tersebut tidak bulat sempurna seperti paralon, maka akan sangat banyak terdapat lembaran-lembaran kecil dengan bentuk yang bermacam-macam. Tugaskulah menyusun lembaran-lembaran itu menjadi bentuk triplek utuh. Kalau gelondongannya jelek, maka tugas ini akan dikerjakan oleh 4 orang, tapi bila kayunya bagus, hanya dikerjakan oleh dua orang.

Kami harus bekerja dengan cepat, sebab kalau lambat, maka tumpukan lembaran2 kecil itu hanya akan membuat mandor kami marah. Jadilah kami bekerja dengan tanpa suara. Tangan ini walau sudah mengenakan sarung tangan, tetap saja terasa perih karena lecet. Belum lagi kalau kayu yang diolah mempunyai getah yang gatal. Belum lagi kepenatan yang akan terasa sangat menyiksa menjelang istirahat makan siang dan menjelang jam pulang. Tapi kami tidak boleh mengeluh sakit. Kami sakit, jika dan hanya jika dokter perusahaan mengatakan kami sakit. Dan entah karena mempunyai disiplin dan daya tahan tubuh yang diatas rata-rata, dokter ini hanya akan memberikan vonis sakit bagi dia yang sudah benar-benar sakit. Termasuk dalam kriteria ‘tidak benar-benar sakit adalah pusing, batuk, flu dan demam kurang dari 3 hari’.

Aku, seperti halnya Dini dan sebagian besar buruh pabrik ini, bukan merupakan karyawan pabrik. Kami adalah karyawan sebuah kontraktor penyedia jasa tenaga kerja yang memasok tenaga kerja ke pabrik-pabrik. Kalau dipikir-pikir kami mirip TKI yang dikirim oleh PJTKI-PJTKI ke luar negeri. Engkau tentu tahu kawan, nasib apapun yang menimpa TKI (terutama TKW) di luar negeri, akan sangat sulit menyeret PJTKI sebagai pihak yang bertanggung jawab. Begitu sampai keluar negeri TKI (terutama TKW) ibarat anak kijang yang dilepas ke hutan penuh binatang buas. Tanpa perlindungan sama sekali.

Kami, di pabrik ini juga begitu. Dini, misalnya. Dia diPHK oleh pabrik tanpa pesangon sama sekali.

“Dia bukan karyawan kami” kata pabrik. Benar juga.
“Dia juga bukan karyawan kami” kata penyalur. “Kami justru hanya membantunya agar dapat kerja” benar juga. Karena kalau tidak benar, pemerintah sebagai pelindung rakyat tentu tidak akan tinggal dia melihat ketidakbenaran. Itulah yang selama ini dicekoki ke pikiran kami. Dan itulah yang selama ini diyakini oleh sebagian besar kami para buruh pabrik. Alih-alih mendukung Dini, sebagian kawan-kawan malah sudah mulai memaki Dini sebagai karyawan durhaka. Kasihan kau Dini.
Akupun kalau tidak punya suami seperti si mas, tentu akan punya pikiran yang sama. Aku akan berpikir bahwa kami berhutang budi pada pengusaha. Pengusaha adalah dewa penolong kami. Melawan kepada pengusaha (termasuk demo) adalah dosa.

Bersuamikan si mas, aku punya pikiran yang berbeda. Begini teorinya :
Pabrik tempatku bekerja bisa beroperasi dengan normal, jika dan hanya jika mesin-mesinnya dalam kondisi bagus dan terawat. Ada bahan baku. Dan ada tenaga kerja. Jadi posisinya seimbang. Antara pengusaha dan tenaga kerja, karena mesin dan bahan baku saja tidak bisa menaikkan nilai dirinya tanpa tenaga kerja. Pengusaha mempunyai modal, buruh punya tenaga. Sehingga setelah pengusaha mencapai titik BEP, seharusnya keuntungan dibagi secara proporsional dengan seluruh buruh pabrik. Pertambahan nilai yang terjadi dari kayu gelondongan menjadi triplek, setelah dikurangi seluruh biaya produksi, termasuk upah buruh dan gaji bagi pengusaha, seharusnya dibagi antara pengusaha dan buruh. Selama ini hal itu tidak dilakukan. Selama ini nilai itu dinikmati oleh pengusaha. Selama ini buruh dihisap darah dan keringatnya oleh pengusaha. Bagaimana mungkin malah buruh yang berhutang pada pengusaha?

Demikian si mas terus mengcounter suara-suara dan pendapat-pendapat diluar yang kudengar. Aku bingung. Mungkin karena IQku tidak tinggi-tinggi amat. Tapi biarlah. Ketidakmengertianku justru membuat si mas tak henti-hentinya berbicara kepadaku. Karena di sisi lain si mas sudah tidak punya kawan bicara tentang hal-hal seperti itu diluaran. Ketidakmengertianku justru memberi si mas kawan diskusi.
Aku tidak tahu harus kasihan pada siapa. Dini atau si mas.

Sore hari si mas dan sepedanya sudah menungguku di depan pintu gerbang pabrik. Dari ratusan karyawan perempuan di pabrik ini, paling hanya beberapa orang yang dijemput suaminya pulang, dan dari beberapa itu, termasuk aku. Sore ini, ban sepeda si mas sudah tidak kempes.

“Cuma kurang angin, dipompa dikit aja” kata si mas menjelaskan tanpa perlu kuminta. Si mas bisa membaca pikiranku. Tapi si mas tidak sendiri, karena akupun bisa membaca pikirannya. Si mas punya masalah. Dari getar kakinya mendayung sepeda, dari sorot matanya memandang kerikil jalan, aku tahu si mas punya masalah.

Malamnya ia bercerita..

..bahwa ia telah dipecat, karena dianggap memprovokasi buruh pabrik tempatnya bekerja menuntut kenaikan upah. Masku telah menjadi Dini. Tapi sebagaimana Dini yang sampai hari ini adalah (tetap) kawanku, si maspun sampai hari ini dan seterusnya adalah (tetap) suamiku. Aku tahu si mas akan segera dapat kerja lagi.. apalagi kerja dan uang akan menjadi semakin penting bagi kami hari-hari ke depan, karena sudah tiga minggu ini aku terlambat datang bulan. Hal yang belum aku sampaikan pada si mas.. Sudilah untuk berpihak pada kami Tuhan..

[post-views]
Tags: