Di Amerika Latin, Anti-Neoliberalisme tak Ada Matinya

Tanggal 25 Oktober lalu, demonstrasi terbesar dalam sejarah Chile terjadi. Lebih dari 1 juta orang turun ke jalan di Ibukota Chile, Santiago. Belum menghitung kota-kota lain. Padahal, secara keseluruhan, populasi Chile tak lebih dari 18 juta jiwa.

Amerika latin, kawasan yang dihuni sekitar 700-an juta manusia, menjadi tempat pertama penerapan kebijakan ekonomi yang sangat brutal, bernama: neoliberalisme.

Itu terjadi di Chile, tahun 1973, setelah penggulingan Presiden berhaluan sosialis, Salvador Allende. Pelaku penggulingan, Augusto Pinochet, seorang Jenderal yang disokong Amerika Serikat, langsung mengambilalih kekuasaan.

Jenderal Pinochet, dengan dukungan teknokrat didikan AS, Chicago Boys, langsung membawa Chile dalam pangkuan agenda neoliberalisme.

Namun, sejak neoliberalisme mengoyak ekonomi kawasan tersebut, epos perlawanannya juga tak berhenti. Mulai dari peristiwa Caracazo 1989, sebuah pemberontakan rakyat di Venezuela yang dipicu oleh protes terhadap pencabutan subsidi BBM.

Kemudian pemberontakan Zapatista (EZLN), dengan tokoh legendarisnya Subcomandante Marcos, tepat di tahun baru 1994 di Meksiko. Pemberontakan itu mengagetkan dunia, yang masih terbuai mimpi indah neoliberalisme.

Hingga perang air di Chocabamba, Bolivia. Pemberotakan rakyat yang dipicu oleh kemarahan atas kebijakan privatisasi air ini terjadi tahun 1999-2000.

Hingga, di penghujung 1998, seorang Kolonel berhaluan kiri, Hugo Chavez, memenangi Pemilu di Venezuela. Begitu berkuasa, Chavez pelan-pelan meninggalkan neoliberalisme.

Kemenangan Chavez hanya titik awal. Tahun 2003, Lula da Silva berkuasa di Brazil dan Néstor Kirchner di Argentina; Tabaré Vázquez di Uruguay (2004), Evo Morales di Bolivia, Manuel Zelaya di Honduras, dan Michelle Bachelet di Chile (2006), Daniel Ortega di Nikaragua dan Rafael Correa di Ekuador (2007); dan Fernando Lugo di Paraguay (2008); Jose Mujica di Uruguay (2010).

Bertahtanya Presiden-Presiden berhaluan kiri ini tak hanya mengubah wajah politik Amerika latin. Wajah ekonominya turut bersalin rupa. Tak lagi berwajah neoliberal, tetapi condong mengarah ke sosialisme baru: Sosialisme Abad 21.

Perubahan ini jelas mengusik Paman Sam. Kuasa geopolitiknya terganggu. Amerika latin tak lagi mau menjadi “halaman belakangnya”. Hal tersebut mengancam kepentingan ekonomi dan bisnis Amerika Serikat di kawasan itu.

Sejak 2009, upaya membandul politik Amerika latin agar bergeser ke kanan dimulai. Tes pertama terhadap Manuel Zelaya di Honduras. Presiden yang kerap memakai topi koboi itu dipecat oleh Parlemen yang dikuasai kanan.

Usai Honduras, pindah ke Paraguay. Modusnya sama: kudeta lewat Parlemen. Fernando Lugo, Presiden yang akrab dipanggil “Pastor Kaum Papa” itu, juga dilengserkan lewat parlemen.

Skenario ini berlanjut ke Brazil. Tahun 2016, Dilma Roussef, si penerus Lula da Silva, juga dimaksulkan lewat parlemen. Setelah itu, kekuasaan beralih politikus kanan pragmatis, Michel Temer.

Di bawah Temer, Brazil pelan-pelan kembali ke pangkuan neoliberalisme. Puncaknya, pada 2018 lalu, seorang kanan-fasis, Jair Bolsorano, malah berhasil terpilih sebagai Presiden Brazil.

Tak berselisih jauh, pada 2015, Mauricio Macri, seorang taipan, memenangi Pemilu Argentina. Ia sekaligus menyetop arus anti-neoliberalisme yang dimotori oleh Peronisme.

Setahun kemudian, di Peru, Pedro Pablo Kuczynski, bekas ekonom IMF, terpilih sebagai Presiden. Tahun 2017, di Chile, Sebastián Piñera, seorang miliuner jebolan Harvard, terpilih kembali sebagai Presiden.

Sementara di Ekuador, perubahan politiknya unik. Tahun 2017, pemilu dimenangkan oleh kandidat yang diusung Aliansi PAIS, Lenin Morono. Saat kampanye hingga terpilih, Moreno berjanji melanjutkan visi progressif Presiden pendahulunya, Rafael Correa.

Faktanya, tak lama setelah menjabat, Moreno berbalik. Ia tak hanya menendang orang-orang kiri di pemerintahannya, tetapi membuka kembali pintu ekonomi Ekuador pada IMF dan Bank Dunia.

Semua peristiwa itu, yang berlangsung dalam rentang tak sampai 10 tahun, disimpulkan secara tergesa-gesa oleh sebagian pengamat sebagai “pergeseran ke kanan”.

Apa betul demikian?

Tidak sepenuhnya benar. Pada Juli 2018, di Meksiko, negara sekutu terpenting AS, seorang capres kiri justru memenangi Pemilu dengan telak. Namanya Andrés Manuel López Obrador (AMLO). Begitu dilantik, AMLO berjanji akan mengakhiri neoliberalisme di tanah Meksiko.

Di Ekuador, kebijakan neoliberal Moreno nyaris membawa pemerintahannya di ujung tanduk. Jadi, pada 1 Oktober 2019, Moreno mencabut subsidi bahan bakar yang sudah dinikmati rakyat Ekuador sejak 1970-an. Harga BBM langsung melejit 123 persen.

Esoknya, 2 Oktober, Ekuador mulai diguncang protes. Dimotori oleh masyarakat adat, buruh dan mahasiswa, protes itu memobilisasi jutaan orang turun ke jalan. Kantor parlemen dikuasai massa.

Karena takut kantor Presiden juga dikuasai massa, Presiden Moreno memindahkan kantor Kepresidenan dari Quito, Ibukota Ekuador, ke Guayaquil.

Meski direpresi, yang berakibat 10 demonstran tewas, 2000an terluka, dan 1000-an ditangkap, protes justru membesar. Dalam posisi terpojok, Presiden Moreno membatalkan kebijakannya. Kebijakan neoliberal tertunda sementara.

Di Chile, pada 6 Oktober, Presiden Pinera menaikkan tarif kereta metro sebesar 30 peso (sekitar Rp 600,-). Protes meledak ke seantero Chile, yang dimotori oleh mahasiswa, masyarakat adat, dan masyarakat umum.

Tanggal 25 Oktober lalu, demonstrasi terbesar dalam sejarah Chile terjadi. Lebih dari 1 juta orang turun ke jalan di Ibukota Chile, Santiago. Belum menghitung kota-kota lain. Padahal, secara keseluruhan, populasi Chile tak lebih dari 18 juta jiwa.

Sama seperti di Ekuador, rezim Pinera menyerah. Ia membatalkan kebijakannya. Meskipun langkah politik itu tak berhasil menghentikan sepenuhnya aksi protes.

Kejutan lain datang dari Argentina. Tanggal 27 Oktober lalu, koalisi kiri yang mengusung Alberto Fernandez berhasil memenangi Pemilu. Ia berhasil menjungkalkan inkumben, Mauricio Macri.

Beberapa hari sebelumnya, Mahkamah Agung Bolivia mengumumkan kemenangan Evo Morales dalam Pemilu yang digelar tanggal 20 Oktober lalu. Berdasarkan data resmi, Evo mendapat 47,08 persen, sedangkan pesaingnya, Carlos Mesa, seorang pengusaha, mendapat suara 36,51 persen.

Minggu lalu, 27 Oktober 2019, Negara paling keras di Amerika latin sekaligus sekutu paling loyal AS, Kolombia harus merelakan Ibukotanya, Bogoto, dipimpin oleh seorang kiri-progressif, Claudia Lopez.

Begitulah. Waktu terus berjalan, perjuangan juga terus berlanjut. Yang jelas, di Amerika latin, perjuangan anti-neoliberalisme ada dan sangat kuat.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid