Demokrasi Di Daerah

Selasa, 15 Juni 2010 | 01.01 WIB | Editorial

Di tahun 2010 ini telah dan akan terselenggara pemilihan umum kepala daerah di ratusan tempat di Indonesia. Sebagaimana diketahui, tiap-tiap penyelenggaraan pemilu-kada teremban misi desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah-daerah. Seturut logika desentralisasi tersebut maka sudah seharusnya, dalam tiap pemilihan kepala daerah, kekuasaan politik semakin berada dekat dengan rakyat. Dengan demikian kebijakan pemerintahan daerah menjadi lebih sesuai dengan kehendak rakyat, bahkan, dapat dimajukan untuk melibatkan rakyat sebagai perencana, pelaksana, sekaligus pengawas pemerintahan. Namun kenyataan hari ini tidak menunjukkan gambaran ideal yang demikian. Kekuasaan di tingkat lokal masih banyak yang korup dan tidak berpihak pada rakyat; bahkan bisa lebih buruk lagi.

Apa masalahnya, sehingga rakyat tidak menjadi bagian dari jalannya kekuasaan di daerah? Proses sering berdampak pada hasil. Kita saksikan, dalam penyelenggaraan pilkada tahun ini kembali tampak kasus-kasus politik uang (money politics), ataupun calon yang membangun loyalitas pemilih berdasarkan iming-iming uang, patron-clien, serta bentuk ketergantungan ekonomi lain. Sebaliknya, di tengah meluasnya persoalan kemiskinan yang melanda rakyat, politik uang telah diambil sebagai jawaban pragmatis oleh sejumlah besar pemilih. Ada latar yang bisa menjawab masalah ini secara historis: mengapa politik uang dan pragmatisme dapat tumbuh subur dan terus berjalan mulus, meskipun rakyat bisa merasakan dampak buruknya. Deideologisasi massal oleh rejim militeristik Soeharto adalah salah satu akar penyebabnya. Hal deideologisasi massal ini masih berlanjut di era sekarang, antara lain dengan politik pencitraan. Kesan dan tampilan lebih penting dibandingkan program dan strategi untuk menjawab persoalan rakyat.

Tetapi situasi-situasi di atas tidak lantas menutup seluruh peluang demokratisasi di daerah-daerah. Dalam syarat tertentu, rakyat masih dapat mengajukan calon yang telah dikenal integritas dan konsistensinya dalam berjuang, baik lewat jalur partai politik maupun jalur independen. Selain itu, perlu terus dibangun organisasi-organisasi kerakyatan yang demokratis, atau yang posisi dan kiprahnya mencerminkan kepentingan kolektif seluruh anggotanya.

Kepentingan rakyat yang hendak diangkat pada momentum pemilukada dapat terlebih dahulu dimusyawarahkan lewat organisasi-organisasi dimaksud. Termasuk dalam memutuskan siapa yang akan didukung sebagai calon kerakyatan, misi dan visi apa yang hendak dijalankan, bagaimana gambaran pelaksanaan visi dan misi di tingkat lapangan, bagaimana peran organisasi-organisasi massa dalam pelaksanaan visi dan misi tersebut, dan sebagainya. Karena menyangkut kepentingan yang luas dari seluruh rakyat, maka pengorganisasian politik kerakyatan ini sedapat mungkin merupakan sebuah politik persatuan di atas platform yang disepakati. Artinya, diperlukan kesepahaman untuk mengutamakan kepentingan rakyat secara keseluruhan di tengah keragaman kelompok, sektoral, dan teritorial.

Kita tidak ingin proses desentraliasi hanya menghasilkan “raja lokal” di satu sisi, dan partisipasi rakyat yang terbonsai di sisi lain. Sebaliknya, momentum semacam ini harus dimanfaatkan untuk membuka partisipasi rakyat yang seluas-luasnya dalam kancah politik. Setiap celah partisipasi adalah pintu untuk melihat dan mengenal medan politik yang sebenarnya di berbagai level, sekaligus berjuang memenangkan politik pro-rakyat di dalamnya.

Anda bisa menanggapi editorial kami di redaksiberdikari@yahoo.com

[post-views]