Budaya “Happy” dan Revolusi Belum Selesai

Sebentar lagi HUT Kemerdekaan menghampiri, namun sebagian besar kita belum menyaksikan gaungnya secara luas, baik dalam bentuk persiapan perayaan maupun semangat di kalangan massa sendiri. Untuk membahas ini, ada baiknya jika menyimak pernyatan pelukis revolusioner, Amrus Natalsya, saat diskusi soal “realisme hari ini”, Rabu lalu (4/8). Amrus mengatakan, ada fenomena baru di masyarakat kita, yaitu “masyarakat happy”, yang merubah mental individu dan tanggung jawab kita.

Budaya “happy” ini muncul dari persaingan kejam di bawah neoliberalisme. Rakyat menemukan dirinya sebagai individu-individu yang bersaing secara bebas, kehilangan rasa solidaritasnya, dan terseret untuk berfikir jangka pendek. Dalam masyarakat “happy” ini, menurut Amrus, tidak ada lagi arti penting untuk berjuang, melakukan pemihakan terhadap kelas buruh dan tani. Inilah hal-hal yang membunuh jiwa dan karakter nasional kita.

Konsumerisme, misalnya, sangat berperan dalam menghancurkan budaya solidaritas, dan memaksakan setiap individu untuk memaksakan pencarian sumber-sumber keuangan untuk menopang belanja konsumsi massa. Orang dipaksa dengan biaya hidup dan konsumsi yang tinggi, entah dengan utang ataupun menjual diri, sehingga berdampak pada kerusakan moral dan nilai kolektivitas.

Di atas segalanya, menurut Willian Grigsby, mantan pemiminpin Sandinista, neoliberalisme bukan hanya ideology yang menjajah masyarakat dunia melalui kolonialisme tersembunyi. Neoliberalisme juga merupakan sebuah ideology yang mengubah masyarakat menjadi sekedar konsumen—dan bukan hanya menjadi konsumen, masyarakat juga diubah mentalnya menjadi apatis, sinis, dan sangat individualis.

Di lapangan budaya, sebagai akibat dari mental apatis, sinis, dan sangat individualis, tidak sedikit dari anak bangsa ini yang melecehkan sendiri bangsanya, atau juga melecehkan tokoh pembebasan nasional seperti Bung Karno. Sehingga, menurut penjelasan Amrus, penghancuran karakter suatu bangsa sekarang ini tidak lagi sekedar melalui film-film cabul, tetapi karya seni rupa yang “nyeleneh” pun sudah mendidik orang untuk melecehkan bangsanya sendiri.

Keindahan dunia ‘happy’ ini tercermin dalam acara dan program Televisi, dimana telah digambarkan sebuah dunia dimana semua orang terlihat ceria, tidak ada kesusahan, bahkan tiada duka di raut wajah kaum miskin.

Namun, apa yang ditampakkan di Televisi sangat kontras dengan kenyataan real yang terjadi di tengah rakyat—kemiskinan, pengangguran, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya. Kita tidak perlu menggunakan kaca pembesar untuk membuktikan hal ini, tetapi cukup menyaksikan lingkungan sekitar kita.

Mari kita merenungkan perkataan seorang tokoh Lekra yang cemerlang, Nyoto; “tahu segala sesuatu, dan tahu sesuatu tentang segala.” Kita harus mengenali keadaan rakyat dengan sebaik-baiknya dan seterang-terangnya. Jika kita sudah mengenal keadaan rakyat dengan benar, maka kita pun sudah bisa membongkar kepalsuan “dunia happy’ ini.

Menjelang HUT kemerdekaan ke-65, kita kembali mendudukkan persoalan-persoalan di atas dalam rel “tugas historisnya”. Kita malah mendapati dua pilihan; apakah kita masih mau meneruskan revolusi yang belum selesai, dalam hal ini revolusi Agustus 1945? ataukah kita sudah berhenti dan memilih masyarakat “happy”.

Kami merasa, jikalau kita konsisten dengan cita-cita founding father bangsa, maka tidak mungkin untuk memilih berakhir di “bangsa happy”.  Sebab, kita tidak pernah mau menuju surga dengan sendirian. Bangsa ini adalah hasil perjuangan kolektif, maka menuju surga pun harus pula secara kolektif.

Kami sangat setuju dengan perkataan Amrus Natalsya, ““ kita harus bangkit. Dan bangkit itu haruslah dengan politik. Politik yang memimpin gerakan rakyat untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai.”

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid