19 Juli 1979, di Nikaragua, sebuah revolusi yang diusung rakyat biasa berhasil menggulingkan diktator paling keji di negeri itu: Anastasio Somoza.
Selama lebih dari empat dekade, tepatnya 1936-1979, Nikaragua hanya diperintah oleh satu keluarga oligarki: keluarga Somoza.
Selama rentang itu, rakyat Nikaragua tak henti-hentinya untuk berlawan. Mulai dari Augusto César Sandino hingga berdirinya sebuah organisasi marxis bernama Front Pembebasan Nasional Sandinista/Frente Sandinista de Liberación Nacional (FSLN).
Sandino, anak seorang petani, memimpin rakyat Nikaragua melawan imperialisme Amerika Serikat. Namun, di tahun 1934, Sandino dibunuh oleh tentara atas perintah Jenderal Anastasio Somoza García.
Sejak itu, keluarga Somoza memerintah Nikaragua. Tak hanya memperkaya diri lewat korupsi, keluarga Somoza juga memelihara bisnis keluarga. Dengan dukungan militer dan AS, mereka bisa menjaga kekuasannya.
Hingga, pada 19 Juli 1961, sejumlah mantan aktivis mahasiswa, seperti Carlos Fonseca dan Tomás Borge, mendirikan organisasi politik bernama Front Pembebasan Nasional Sandinista (FSLN).
Dalam perjuangannya, FSLN memadukan perjuangan gerilya dan gerakan massa. Mereka terinspirasi oleh keberhasilan Fidel Castro dan Che Guevara di Kuba.
Tahun 1972, sebuah gempa bumi meluluhlantakkan kota Managua. Selain membunuh 11 ribu orang, gempa ini juga hampir meratakan seluruh bangunan di kota terbesar Nikaragua.
Pahitnya, alih-alih bereaksi cepat untuk memulihkan dampak gempa, rezim Somoza justru menyalahgunakan bantuan asing untuk memperkaya diri dan keluarganya. Ini yang memicu ketidakpuasan semakin meluas.
Momentum ini dimanfaatkan FSLN. Selain meningkatkan perang gerilya, mereka juga melipatgandakan kampanye ke tengah-tengah massa perkotaan.
Memasuki bulan Juni 1978, kekuasaan rezim Somoza semakin terjepit. Hampir semua wilayah sudah berada di dalam kontrol FSLN, kecuali kota Managua.
Di hari-hari menegangkan itu, seorang jurnalis foto dari Magnum Photos, Susan Meiselas, tiba di Nikaragua untuk melihat dari dekat dan memotret krisis politik yang sedang melilit negeri itu.
“Kebetulan, saya tiba sebelum pemberontakan Juni 1978 meletus. Saya bangun setiap hari tanpa rencana dan hanya memotret apa yang saya lihat,” katanya, seperti dikutip magnumphotos.com.
Dengan kameranya, Meiselas membidik berbagai kejadian penting di ujung kekuasaan Somoza. Revolusi yang mulai bergerak di jalanan. Kendaraan yang digulingkan, lalu dibakar oleh massa. Hingga pejuang-pejuang Sandinista yang bertempur di jalanan dengan tentara Somoza.
“Sejarah sedang dibuat di jalanan dan seorang pun tahu akan kemana arahnya,” kata Meiselas dalam sebuah video terkait peluncuran edisi baru bukunya, Nicaragua, June 1978-July 1979.
Hari itu, 16 Juli 1979, Meiselas sedang menyaksikan pertempuran sengit antara Sandinista dan tentara di sebuah garnisun di kota Managua.
Pejuang Sandinista menyerbu garnisun itu dengan senjata seadanya. Sementara tentara di garnisun itu dilengkapi dengan persenjataan lengkap dan modern. Bahkan garnisun itu punya tank.
Namun, siapa yang bisa menghentikan gejolak revolusi. Para pejuang Sandinista terus merangsek. Mereka berlindung di balik tumpukan karung berisi pasir.
Hingga seorang pejuang sandinista, Pablo de Jesus “Bareta” Araúz, melemparkan bom molotov yang dibuat dari botol pepsi ke arah garnisun. Kejadian itu berhasil dibidik oleh kamera Meiselas.
Sebetulnya, Meiselas mengambil banyak gambar. Mulai dari saat kamerad Bareta membakar sumbu molotov, melemparnya, lalu tiarap, hingga pejuang Sandinista berhasil merebut garnisun itu.
Namun, foto yang kelak viral adalah saat kamerad Bareta melemparkan molotov itu. Tangan kanannya bersiap melemparkan molotov, sedangkan tangan kirinya menenteng senjata laras panjang.
Oiya, saat melemparkan molotov, sebuah kalung salib menggantung di leher Bareta. Dan memang, di kalangan pejuang Sandinista, banyak diantara mereka yang menjadi penganut teologi pembebasan.
Sehari setelah kejadian itu, diktator Anastasio Somoza menyatakan mengundurkan diri. Tak berselang lama, dia kabur bersama keluarganya ke Miami, Amerika Serikat.
Namun, di AS, permintaan suakanya ditolak oleh Presiden Jimmy Carter. Karena itu, dia meminta ke suaka ke Paraguay yang kebetulan sedang diperintan diktator Alfredo Stroessner. Permintaan suakanya diterima.
Namun, setahun kemudian, di rumah perlindungannya di Asunción, Somoza ditembak mati oleh 7 orang penyerang yang diidentifikasi sebagai pejuang sandinista.
Setelah revolusi, tepatnya tahun 1981, Meiselas mempublikasikan foto-fotonya lewat sebuah buku yang diterbitkan oleh Panteon, Nicaragua, June 1978-July 1979.
Foto Bareta sedang melemparkan molotov dari botol pepsi diberi judul: Molotov Man. Foto itu langsung viral di Nikaragua dan seluruh dunia. Di Nikaragua, foto itu menjadi salah satu ikon dari revolusi. Foto “Molotov Man” menjadi mural dan grafiti di seantero Nikaragua.
Tahun 1991, foto itu menjadi cover film berjudul “A Pictures from a Revolution”, yang dibuat bersama oleh Susan Meiselas dan Richard P Rogers.
Setelah Sandinista berkuasa, Meiselas masih sempat di Nikaragua. Ia masih memotret para pejuang-pejuang Sandinista bergerak seantero negeri untuk mengajari rakyatnya menulis dan membaca.
Hari ini, 19 Juli 2021, rakyat Nikaragua memperingati revolusinya yang ke-42. Viva la revolución!
RAYMOND SAMUEL
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid