Menyalakan Api Republikanisme Sukarno

Dari 195 negara di dunia ini, ada 159 diantaranya yang menganut bentuk pemerintahan Republik dengan berbagai variannya. Salah satunya adalah Republik Indonesia.

Apa maknanya menjadi negara berbentuk republik? Apa konsekuensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Lalu apa hubungannya dengan cita-cita masyarakat adil dan makmur?

Ide Republikanisme

Ide republikanisme samar-samar mulai hingga dalam pemikiran pendiri bangsa sejak 1920-an. Gagasan itu terselip dalam risalah-risalah yang ditulis oleh Tan Malaka, Sukarno, dan Hatta.

Pada tahun 1945, saat sidang BPUPKI membahas bentuk negara, ide republikanisme mencuat. Mohammad Yamin, seorang nasionalis dan anggota BPUPKI, melontarkan gagasan republikanisme.

Menurut Yamin, Indonesia merdeka tidak boleh menjadi “negara golongan, negara angkatan atas, atau negara bangsawan” (AB Kusuma, 2004). Ia tak sreg dengan sistem monarki maupun teokrasi.

Sukarno, yang juga berpidato di forum itu, menyatakan ketidaksetujuannya pada monarki. “Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki,” kata Sukarno dalam pidatonya.

Sukarno tak setuju kalau kekuasaan politik diwariskan turun-temurun, layaknya takhta raja di masa kerajaan-kerajaan feodal. Dia merujuk pada tradisi Islam yang menunjuk amirul mukminin melalui pemilihan.

Untuk diketahui, saat itu ada juga pengusul monarki. . Akhirnya, karena tidak ada mufakat, keputusan diambil lewat pemungutan suara (voting). Hasilnya, dari 64 suara, 55 suara memilih Republik, lalu ada 6 yang menginginkan bentuk kerajaan. Sisanya (3 suara) memilih yang lain.

Melihat risalah sidang-sidang BPUKI, pemilihan bentuk negara republik didorong sejumlah keyakinan atau prinsip. Pertama, penolakan terhadap monarki, yaitu kekuasaan yang berpusat pada seorang raja dan diwariskan secara turun temurun. Kedua, keinginan meletakkan Indonesia di atas prinsip kedaulatan rakyat, yaitu kekuasaan politik yang bersumber pada mandat rakyat, dijalankan secara deliberatif, demi kebaikan bersama.

Bukan kebetulan, setelah Indonesia merdeka, mereka yang berpihak pada kemerdekaan Indonesia disebut kaum republiken. Bukan saja karena mereka anti-kolonialisme, tetapi juga karena anti-feodalisme dan monarki.

Gagasan Republikanisme Sukarno

Memang, pasca kemerdekaan, pendiskusian lebih mendalam mengenai konsekuensi bentuk negara Republik dalam penyelenggaraan negara dan berbangsa. Gagasan ini seolah ditepikan dari ruang diskursus kebangsaan. Tidak tercantum dalam bahan pengajaran.

Tahun demi tahun berlalu, tiba-tiba pada 10 November 1956, saat pembukaan sidang Konstituante, pidato Sukarno mengajak khalayak menungkan makna menjadi negara berbentuk republik.

“Republik adalah negara yang kepala dipilih oleh rakyat, dan yang disebut presiden, itu hanya menunjukkan yang zahirnya saja, tetapi sama sekali belum menentukan isinya,” kata Sukarno.

Dia langsung mengajak khalayak menelusuri jejak Republikanisme dari zaman Yunani klasik dan pemikiran Aristotelian. “kata republik asalnya ialah Res Publica, yang berarti kepentingan umum, bukan kepentingan satu individu, bukan kepentingan satu kelas,” katanya.

Gagasan republikanisme memang memiliki sejarah yang panjang, merentang dari Yunani klasik hingga abad sekarang ini, dari tokoh seperti Aristoteles, Cicero, Machiavelli, Rousseau, hingga Hannah Arendt.

Pada masa Yunani klasik, tepatnya di era kemunculan polis pada abad ke-8 SM, mulai dikenal pembagian antara polis dan oikos. Polis adalah ruang deliberatif untuk bagi setiap orang untuk kebaikan bersama, sedangkan oikos merupakan ruang untuk kebutuhan bertahan hidup (berdagang, harta benda, beranak-pinak, dan perang).

Dalam tradisi Romawi kuno, konsep pembagian polis dan oikos ini sama dengan pembedaan res publica (untuk publik) dan res privata (untuk pribadi). Adalah Cicero (106-43 SM), seorang filsuf sekaligus negarawan Romawi kuno, yang mengembangkan gagasan res publica ini ke dalam konsep hukum dan politik. Ia menganjurkan agar pemerintah melayani prinsip-prinsip dan kepentingan warga negara (kepentingan umum).

Menariknya, dalam pidato bertajuk “Susunlah Konstitusi yang Benar-Benar Konstitusi Res Publica”, Sukarno menyinggu negara-negara yang berbentuk republik, tetapi gagal membumikan cita-cita republikanisme.

Penyebabnya, kata dia, negara-negara itu hanya menerapkan res publica di lapangan politik. Sekadar mengakui kesetaraan hak semua warga negara. Sekadar memilih pemimpin lewat mekanisme pemilu. Ada badan-badan perwakilan dan hukum yang membatasi kekuasaan kepala negara.

“Di lapangan politik semua warga negara dipandang sama. Tetapi mereka tidak menarik logika daripada makna res publica itu terus sampai ke padang ekonomi,” katanya.

Di sini, Sukarno berpijak pada pemikiran politik yang dipegangnya era-erat sejak 1920-an, bahwa tanpa kesetaraan ekonomi, tak mungkin ada kesetaraan politik. Siapa yang menguasai sumber daya ekonomi, maka dia juga yang menguasai politik.

Keyakinan itulah yang menuntun Sukarno melahirkan gagasan besarnya yang disebut sosio-demokrasi. Sederhanya, sosio-demokrasi hendak mengawinkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Demokrasi politik versi Sukarno tidak hanya menjamin hak-hak politik warga negara (hak pilih, berserikat, dan berpendapat), tetapi juga memastikan partisipasi rakyat dalam mempengaruhi dan menentukan peraturan yang berdampak langsung pada kehidupannya.

Sedangkan demokrasi ekonomi merujuk model ekonomi yang mengedepankan pemilikan sosial, pengambilan keputusan secara demokratis (melibatkan pekerja dan publik), kesetaraan di tempat kerja, dan produksi yang berorientasi pada kemakmuran bersama.

Bagi Sukarno, agar esensi republikanisme bisa terwujud, yaitu kebaikan bersama (common good), maka prasyaratnya adalah kesetaraan politik dan ekonomi. Tanpa prasyarat itu, tak mungkin menjadi “republiken 100 persen”.

Jadi, api dari gagasan republikanisme Sukarno tak hanya terletak pada penolakannya pada kolonialisme dan monarki, tetapi prinsipnya yang menekankan kesetaraan politik dan ekonomi. Negara republik versi Sukarno sesuai dengan pidatonya tanggal 1 Juni 1945: negara semua untuk semua.

Sayang, hari-hari ini, meskipun Indonesia masih berbentuk negara Republik, tetapi apinya sudah padam. Gagasan republikanisme tak lagi menjadi suluh yang menerangi jalannya penyelenggaraan negara.

Beberapa persoalan mutakhir, seperti Korupsi, ketimpangan ekonomi, dan fenonema kekuasaan yang hanya dikendalikan segelintir orang (oligarki), menunjukkan absennya gagasan republikanisme.

Karena itu, untuk mengembalikan penyelenggaraan negara agar melayani common good, api republikanisme perlu dinyalakan kembali. Gagasan republikanisme Sukarno sangat relevan untuk dijadikan suluh untuk mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur.

RUDI HARTONO, pemimpin redaksi berdikarionline.com

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid