Barcode Media dan Nasib Media Alternatif

Di tahun 1998, setelah tumbangnya rezim Orde Baru, pers Indonesia pelan-pelan menikmati udara kebebasan. Ratusan, bahkan mungkin ribuan, pers baru tumbuh bermekaran di dalam taman sari kebebasan itu.

Sayang sekali, seiring dengan kebebasan itu ada tumor ganas yang menggerogoti pers Indoenesia, yaitu konsentrasi kepemilikan media di segelintir tangan. Hanya ada 12 grup media besar yang menguasai semua kanal media di Indonesia, dari media cetak, majalah, radio, televisi, hingga berita daring (online).

Grup tersebut adalah MNC Media Group, Jawa Pos Group, Kompas Gramedia Group, Mahaka Media Group, Elang Mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, Media Group, MRA Media, Femina Group, Tempo Inti Media dan Beritasatu Media Holding.

Masalahnya lagi, sebagian dari pemilik grup besar itu adalah pemain politik. Akibatnya, media-media itu seringkali menjalankan fungsi ganda yang buruk: berorientasi profit dan media partisan.

Itu membawa dampak buruk, seperti pemberitaan yang berat-sebelah, sekedar mengejar rating dengan nuansa pemberitaan yang sensasional/bombastis, kurang peka dengan isu akar rumput, dan menjadi penyambung lidah penguasa.

Banyak isu-isu rakyat, seperti konflik agraria, perburuhan, dan penggusuran rakyat miskin, kurang mendapat perhatian media-media besar. Kalaupun isu itu diangkat, biasanya dengan cara pandang yang berat sebelah.

Dalam konflik agraria, misalnya, seringkali petani mendapat cap “perambah”, “penyerobot lahan”, “penggarap liar”, dan lain-lain, kendati petani itu sudah menguasai lahan itu secara turun-temurun. Dan ketika petani bangkit melawan mempertahankan tanahnya, mereka disebut “melawan petugas”, “provokator”, “perusuh”, dan lain-lain.

Kehadiran media alternatif

Ketika media besar absen dalam mengangkat persoalan-persoalan rakyat, hadirlah media-media alternatif. Mereka menampilkan sudut-pandang yang berpihak pada kepentingan publik. Pengelolaan dan orientasinya juga non-profit.

Perkembangan media alternatif makin dimudahkan oleh perkembangan internet dan media sosial. Internet menyediakan ruang yang luas dan bebas bagi media alternatif untuk menjangkau massa luas dan geografi luas.

Seperti media kami, berdikarionline.com. Kami mendirikan media ini untuk satu cita-cita mulia: menjadi pelantang suara orang-orang yang selama ini dipinggirkan oleh media besar. Kami juga bertekad menyuguhkan bacaan terhadap kondisi bangsa saat ini dari sudut pandang kaum progressif.

Kami murni bergerak karena cita-cita itu. Kalaupun kami memasang google adsense, keuntungannya untuk bayar hosting dan domain. Itupun tidak cukup. Untunglah, karena background kami aktivis mahasiswa, kami sudah terbiasa bekerja tanpa dibayar.

Karena itu, saya kira, media alternatif harus diberi tempat dan disokong perkembangannya. Sepedas apapun kritikan dari media alternatif, yakinlah bahwa itu kritikan yang membangun. Itu demi kebaikan bangsa ini juga.

Kebijakan barcode

Baru-baru ini, seiring dengan keresahan publik atas kabar palsu alis hoax, Dewan Pers mempercepat verifikasi perushaaan pers. Nah, perusahaan pers yang lolos verifikasi akan diberi barcode.

Kami setuju bahwa Dewan Pers diberi mandat oleh UU nomor 40 tahun 1999 untuk melakukan pendataan pers/media. Namun, proses pendataan itu tidak boleh membuka celah pada pengekangan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

Masalahnya, berdasarkan pembacaan awal kami bersama kawan-kawan dari Serikat Pekerja Media, Pers Mahasiswa, pegiat Pers Komunitas dan masyarakat sipil, kebijakan itu akan menyulitkan kerja-kerja jurnalistik media alternatif.

Dalam aturan verifikasi yang dikeluarkan Dewan Pers, disyaratkan perusahaan pers itu harus berbadan hukum perusahaan, yakni Perseroan Terbatas (PT). Ditambah lagi, perusahaan dimaksud harus punya modal minimal Rp 50 juta.

Kalau aturannya begitu, jelas hanya media bermodal besar yang diuntungkan. Sementara kami, media alternatif, yang umumnya non-profit, akan mengalami kesulitan.

Belum lagi, tim verivikasi akan akan memotret kantor, newsroom/ruang produksi, dan ruang rapat dari perusahaan pers yang diverifikasi. Masalahnya, media alternatif berbasis online jarang punya kantor tetap. Seperti kami, berdikarionline.com: kami nomaden, dan kadang menumpang.

Tetapi, jangan disangka kami abai terhadap prinsip kerja jurnalistik. Kami juga patuh pada kode etik jurnalistik. Kami juga disiplin melakukan verifikasi atas semua konten berita kami. Kami terbuka atas masukan, kritik dan koreksi.

Kami tidak menolak pendataan dan verifikasi media. Yang kami tolak adalah aturan verifikasi yang memberatkan media-media bermodal kecil dan media alternatif.

Nasib media alternatif

Kebijakan verifikasi dan barcode Dewan Pers berpotensi mendiskriminasi dan menyulitkan kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh media alternatif.

Pertama, media-media yang mendapat barcode, yang notabene media-media besar, sudah pasti benar. Sebaliknya, media yang tidak punya barcode, termasuk media alternatif, akan dicap media abal-abal.

Padahal, fakta memperlihatkan bahwa media-media besar, yang notabene tunduk pada logika kapital dan sebagian media partisan, justru terkadang menyuguhkan pemberitaan yang berat sebelah alias tidak berimbang.

Kedua, media alternatif akan kesulitan mendapatkan akses narasumber, terutama dari kalangan lembaga pemerintah. Sebab, lembaga pemerintah hanya akan melayani media resmi alias sudah punya barcode.

Ketiga, kebijakan Dewan Pers akan menciptakan benteng pemisah antara media yang punya barcode dan tidak punya. Dan hanya media yang punya barcode-lah yang akan dilindungi oleh Dewan Pers jika terjadi sengketa/gugatan.

Lantas, bagaimana nasib media alternatif yang tidak punya barcode? Bukankah media alternatif ini rentan terhadap sengketa/diblokir karena sudut pandangnya yang kritis.

Tentu kami tidak mengada-ada. Akhir Desember lalu, situs suarapapua.com tiba-tiba diblokir oleh Kemenkominfo, karena dituduh memuat konten negatif. Padahal, suarapapua.com tidak pernah memuat konten negatif, seperti pornografi, ujaran kebencian berbau SARA, dan lain-lain. Faktanya, suarapapua.com sangat kritis dalam memberitakan persoalan di Papua.

***

Kami setuju bahwa hoax harus diperangi. Mereka adalah penggunggang gelap yang mencoba menggunakan kebebasan pers untuk membunuh demokrasi.

Namun, bagi saya, memerangi hoax pemerintah tidak boleh mengandalkan tangan kekuasaan/pemerintah. Sebab, hal itu berpotensi disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis dengan dalih memerangi hoax.

Bagi saya, untuk memerangi hoax, kita perlu membangkitkan—meminjam istilah Noam Chomsky–“Intellectual Self-Defense”. Dan itu hanya mungkin jika rakyat dididik untuk kritis. Dan tentu saja, kehadiran media alternatif penting untuk menumbuhkan daya kritis rakyat.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid