Bangun Budaya Membaca Untuk Membangun Bangsa

Banyak teman-teman saya di jejaring sosial, baik Facebook maupun Twitter, mencantumkan membaca sebagai hobinya. Bagi saya, membaca bukanlah sekedar hobi. Jika mau menjadi bangsa yang besar, membaca harus menjadi budaya rakyat kita.

Jorge Luis Borges, penulis kenamaan Argentina, pernah mengungkapkan, diantara semua instrumen manusia yang paling penting, tak diragukan lagi, adalah buku. Menurutnya, seperti juga mikroskop/teleskop bagi penglihatan, lalu telepon bagi pendengaran/suara, maka buku adalah kepanjangan dari ingatan dan imajinasi.

Saya sepakat dengan pendapat itu. Buku bisa membuat kita menengok jauh sekali ke masa lalu, mengenal sejarah, dan mengenal bangsa kita. Hal itu tentu saja tidak bisa dianggap enteng. Sastrawan terbaik Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah berujar, “tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.”

Tak bisa disangkal, banyak tokoh pergerakan Indonesia diinspirasi oleh karya Multatuli, Max Havelaar. Buku itulah, kata Pram, yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Kartini adalah salah satunya.

Dengan membaca pula, kita bisa membangun imajinasi dan menganyam cita-cita ideal dimasa depan. Orang-orang seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain, adalah orang yang rajin membaca. Bacaan-bacaan itulah yang mendorong tokoh-tokoh itu mengenal isme-isme: nasionalisme, marxisme, dan sosialisme. Kelak, isme-isme itulah yang menjadi senjata mereka untuk mengusir kolonialisme.

Sayang, sekarang ini minat membaca bangsa Indonesia sangat rendah. Sering saya naik angkutan umum, seperti KRL AC maupun Busway, jarang sekali saya melihat orang membaca. Padahal, rata-rata penumpangnya adalah klas menengah. Artinya, mereka sudah pernah atau setidaknya sedang ditempa oleh sekolahan.

Hasil survei UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) menunjukkan, minat baca bangsa Indonesia merupakan yang terendah di ASEAN. Menurut UNESCO, indeks minat membaca Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dalam setiap seribu orang Indonesia, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Tragis kan?

Terlebih lagi, dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya Televisi dan Internet, kebudayaan literer bangsa Indonesia semakin merosot dan digantikan oleh tontotan dan oral.

Rendahnya budaya membaca ini juga berkontribusi pada mengecilnya jumlah penulis dan produksi buku. Produksi buku di Indonesia tergolong sangat rendah di Indonesia: hanya 18 ribu judul per tahun. Bandingkan dengan Jepang (40 ribu/tahun), India (60 ribu/tahun, dan China (140 ribu/tahun).

Lalu, banyak perpustakaan di Indonesia, terutama di daerah, yang mulai sepi pengunjung. Sebaliknya, tempat nongkrong semakin kebanjiran pengunjung. Di toko-toko buku, nasib buku-buku serius (politik, ekonomi, sejarah, dan lain-lain) sangat memprihatinkan. Sebaliknya, buku-buku berisi gosip atau buku yang berisi kiat-kiat untuk sukses kebanjiran pembeli. Apakah ini pertanda bahwa pemikiran sudah mati?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan minat baca menurun:

Pertama, rezim orde baru sangat alergi dengan pemikiran kritis yang mengancam kekuasaannya. Untuk tujuan itu, Orde Baru menghancurkan jutaan literatur, membredel koran, membunuh dan memenjarakan banyak sekali penulis, dan memusnahkan pemikiran-pemikiran progressif—khususnya marxisme.

Akibatnya, selama orde baru berkuasa selama 32 tahun, kita hanya disajikan buku-buku yang direstui orba. Sebagian besar adalah buku-buku berbau indoktrinasi. Lalu, saya ingat, kekosongan itu diiisi oleh novel-novel mesum. Salah satu novelis mesum yang terkenal adalah Fredy S, yang karyanya akrab dengan remaja di tahun 1980-an hingg 1990-an.

Kedua, mahalnya harga buku di Indonesia. Konon, harga buku di Indonesia termasuk yang termahal di dunia. Penyebabnya, harga kertas yang sangat tinggi dan ruwetnya tata-niaga buku di Indonesia. Akibatnya, buku menjadi sesuatu yang eksklusif di tangan mereka yang sanggup membeli. Sementara mayoritas rakyat miskin kesulitan mengakses buku.

Ketiga, minimnya peran pemerintah dalam memupuk minat membaca di kalangan rakyat. Pemerintah jarang sekali memproduksi buku secara massal untuk rakyat. Perpustakaan juga belum meluas dan massal. Pemerintah juga tidak berperan aktif untuk menekan harga buku agar bisa semurah mungkin dan bisa dijangkau oleh kantong rakyat.

Sudah begitu, buta huruf di Indonesia juga masih tinggi. Hingga tahun 2011 lalu, jumlah buta huruf di Indonesia masih mencapai angka 8,3 juta jiwa atau 4,79 persen dari jumlah penduduk Indonesia berusia 15-45 tahun.

Setahu saya, sejak menjadi Presiden, SBY jarang sekali mengajak rakyat rajin membaca. Berbeda sekali dengan Bung Karno. Dalam berbagai kesempatan pidatonya, Bung Karno sering mengutip banyak penulis terkenal dan menganjurkan rakyat agar membaca buku-buku penulis tersebut.

Saya berharap, kedepan Indonesia bisa menjadi “bangsa pembaca buku”. Kita tidak lagi susah menemukan orang membaca di atas bis, kereta api, bandara, taman, dan lain-lain.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid