Menggagas politik pertanian teknologi 4.0 adalah penting. Namun, saya menegaskan bahwa politik pertanian kita masih belum meninggalkan politik pertanian gaya orde baru, yang hakikatnya belum bergeser dari corak politik pertanian Hindia-Belanda.
Setidaknya indonesia saat ini masih menjadi sasaran pasar hasil pertanian luar negeri, seperti beras, gula, biji gandum, meslin, dan garam. Di era kolonial politik pertanian itu: pertama, Tanam Paksa tahun 1830. Saat itu, Pemerintah Belanda dililit utang karena membiayai perang melawan Pangeran Diponegoro, Perang Padri, dan lain-lain. Juga perang Kemerdekaan Belgia, yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
Kedua, kebijakan Agrarische Wet tahun 1870, yang mendorong pelibatan pengusaha swasta dalam perekonomian di tanah jajahan sebagai hasil dari perjuangan politisi liberal yang saat itu berkuasa di belanda.
Ketiga, politik etis tahun 1901, yang mana pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa terjajah di Hindia Belanda sehingga panggilan moral tersebut di tuangkan dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi: Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian; Imigrasi, memobilisasi penduduk untuk bertransmigrasi; dan Edukasi, yakni memperluas pengajaran dan pendidikan ke rakyat jajahan untuk mendapatkan tenaga administrasi dan tenaga kerja murah.
Politik Pertanian kolonial tergantikan dengan politik pertanian untuk kemandirian nasional (Trisakti : berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam budaya). Di situ ada satu konsep pertanian yang demokratis, modern dan ekologis, yang ditandai dengan ditetapkannya UU nomor 60 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UU ini menjamin pemilikan, penguasaan dan pengelolaan tanah yang berkeadilan sosial.
Konsep ini tidak bertahan lama, seiring dengan jatuhnya pemerintahan Sukarno, digantikan dengan politik pertanian yang menyangga kebutuhan pangan negara-negara kapitalis besar, dengan konsep trilogi pembangunan: stabilitas Nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Sekarang, kita memasuki era pertanian 4.0, yang ditandainya dengan kehadiran teknologi kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI), internet of things (IoT), human-machine interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi percetakan tiga dimensi (3D), di sektor pertanian.
Sejak kami, Serikat Tani Nasional (STN), berdiri di tahun 1993, sudah menyerukan penggunaan teknologi modern, murah dan massal untuk memajukan pertanian Indonesia. Disamping pengelolaan pertanian secara kolektif, sebagai antisipasi terhadap luasan lahan pertanian yang menyempit karena pertumbuhan populasi dan industrialisasi.
Ini terbukti sekarang. Sejak tahun 2013 hingga 2018, ada 650.000 hektar sawah hilang atau beralih-fungsi. Artinya, setiap tahunnyaa ada130.000 hektar sawah hilang (Kompas cetak, 22 Oktober 2018). Ini sangat berpengaruh pada produktifitas; sawah yang semakin sempit, bila tidak di kerjakan dengan teknologi modern, sulit meningkatkan produktifitas petani.
Dan terbukti sekarang, pengangguran terbuka di pedesaan naik dari 4,01 persen pada Agustus 2017 menjadi 4,04 Agustus 2018. Salah satu sebabnya, lahan pertanian yang makin menyempit. Ini diperparah oleh anggapan bahwa bekerja di sektor pertanian tidak menjanjikan kesejahteraan. Bayangkan, dari sekitar 26 juta petani di Indonesia, sebanyak 22,3 juta diantaranya berusia 35 keatas.Hanya 3,4 juta yang yang berusia 35 tahun kebawah (petani muda).
Sedikitnya petani muda menguatkan fakta bahwa menjadi petani tidak menjanjikan masa depan yang lebih baik. Harusnya, disinilah peran teknologi untuk memajukan pertanian, agar terjadi peningkatan produktivitas, yang berujung pada peningkatan kesejahteraan petani.
Soal peletakan teknologi 4.0 di sektor pertanian, yang paling penting adalah mengubah arah politik pertanian dari yang begitu liberal ke arah politik pertanian berbasis pasal 33 UUD 1945.
Harus diingat juga, dorongan untuk naik tangga menjadi negara Industri hanya mungkin kalau dibangun di atas kedaulatan pangan dan energi. Karena itu, isu reforma agrarian sesuai mandate pasal 33 UUD 1945 menjadi penting.
Jadi, politik pertanian kita perlu diperjelas dulu, sebelum bicara pertanian 4.0.
Pertanian 4.0 hanya mungkin kalau memenuhi syarat-syarat berikut. Perama, Negara harus mencerdaskan petani dengan menggalakkan pendidikan yang gratis, ilmiah dan demokratis sebagai wujud mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua, penggunaan teknologi harus secara kolektif oleh petani. Jika teknologi dimonopoli segelintir tangan, berpotensi akan memperlebar kesenjangan. Disinilah peran negara, mulai dari penyedia anggaran hingga mendorong partisipasi rakyat.
Harus dihindari penggunaan teknologi 4.0 oleh korporasi besar. Sebab, jika di tangan korporasi besar, petani hanya akan menjadi sasaran pasar bagi bisnis teknologi. Demikian.
Ahmad Rifai, Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid