Abdul Rivai, Si Pengeritik Pedas Itu

Namanya tidak setenar Tirto Adhisuryo ataupun Mas Marco Kartodikromo. Padahal, sepak terjang tokoh ini punya arti penting di masa-masa awal pergerakan rakyat Indonesia menentang kolonialisme.

Dia adalah Abdul Rivai. Ia dilahirkan di Palembayan, Bengkulu, pada 13 Agustus 1871. Ayahnya, Abdul Karim, adalah seorang guru di sekolah melayu. Sedangkan ibunya adalah keturunan raja-raja di Muko-Muko, Bengkulu.

Abdul Rivai tumbuh di tengah alam politik etis. Pada tahun 1894, ia berhasil menamatkan studi di sekolah dokter Jawa (STOVIA). Setamat dari STOVIA, ia sempat bekerja di Medan, Sumatera Utara.

Menuntut Ilmu Di Eropa

Berbekal uang tabungan sebesar 25 ribu gulden, Abdul Rivai nekat menuntut ilmu di negeri Eropa. Negeri tujuannya Belanda, negeri yang sedang menjajah bangsanya. Konon, pencetus ide politik etis, Van Deventer, turut membantu Rivai agar bisa melanjutkan studi di Belanda.

Meski begitu, perjuangan Abdul Rivai tidaklah mulus. Ia harus menunggu lama persetujuan pemerintah kolonial. Barulah pada tahun 1899 ia mendapatkan kesempatan emas itu. Dan, karena itu, Abdul Rivai tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang menempuh sekolah kedokteran di negeri Belanda.

Tetapi rintangan tak berhenti. Meski diterima di Universitas Utrecht, ia harus menempuh ujian persiapan di Amsterdam dulu. Di masa itulah Ahmad Rivai mengisi waktunya dengan kegiatan jurnalistik.

Ia bekerja di “Pewarta Wolanda”, sebuah koran berbahasa Melayu di Belanda, pada tahun 1900-an. Tetapi Abdul Rivai juga sering menulis artikel-artikel di koran-koran lain. Suatu hari, Rivai terlibat polemik dengan seorang Belanda yang mengaku ahli berbahasa Melayu, A.A Fokker.

Polemik itu berlangsung di koran. Berkali-kali Abdul Rivai dan Fokker berbalas pena di koran-koran. Hingga, akhirnya, digelar debat terbuka diantara kedua orang ini. Konon, dalam debat itu Abdul Rivai dianggap pemenang.

Setelah itu, Rivai bergabung dengan koran “Bandera Wolanda”. Koran ini merupakan hasil kerjasama Rivai dengan seorang Belanda anggota KNIL, Brousson. Koran ini sangat moderat. Di edisi pertamanya dijelaskan misi koran ini: pengajaran dan pengetahuan. Bukan polemik dan pertikaian.

Selain bergiat sebagai jurnalis, Abdul Rivai juga konsentrasi menyelesaikan studinya. Di beberapa artikelnya di koran, Abdul Rivai menyisipkan nasehat-nasehat soal perlunya menjaga kebersihan dan kesehatan.

Tahun 1906, Abdul Rivai melanjutkan studi di Paris, Perancis. Di sana, ia belajar di Universitas Pasteur. Ia aktif mempromosikan bahasa melayu. Pada tahun 1907, ia sudah mengikuti ujian doktoral. Selain itu, ia juga mengikuti kuliah semi-arts.

Namun, karena soal waktu, Rivai kesulitan mengejar gelar doktoralnya. Ia pun terpaksa mengejar gelar doktoral di sebuah universitas di Belgia. Ujian doktoral berlangsung pada 23 Juli 1908. Ia lulus dengan nilai memuaskan. Dengan demikian, Abdul Rivai menjadi orang “hindia” pertama yang meraih gelar doktor.

Kartini, seperti ditulis Pramoedya Ananta Toer, sangat menghargai Abdul Rivai. Bagi Kartini, Abdul Rivai telah menjadi harapan bagi kaum pribumi untuk mengangkat kehormatan dan martabat bangsanya. Kartini juga memuja sikap Abdul Rivai yang berani bersikap terhadap pemerintah kolonial.

Pada tahun 1911, Rivai sudah kembali ke Indonesia. Ketika pergerakan nasional berkobar di tanah air, ditandai dengan berdirinya Indische Partij, Abdul Rivai turut mendirikan cabang IP di Sumatera.

Begitu IP dibubarkan oleh pemerintah kolonial, Rivai juga turut berpindah ke Insulinde. Ia sempat menjadi pengurus organisasi borjuis kecil-radikal ini. Pada tahun 1918, ketika Volksraad dibentuk, Abdul Rivia menjadi anggotanya. Di Volksraad, parlemen boneka pemerintah kolonial itu, Rivai sering bersuara lantang mengeritik pemerintah kolonial.

Pengeritik Pedas Di Jamannya

Cerita sukses Abdul Rivai menaklukkan seorang Belanda, Fokkers, tersebar hingga ke Hindia-Belanda. Koran Fafa Bode di Batavia menyebut Rivai sebagai “inlander yang lupa daratan.”

Pasca di koran “Bandera Wolanda”, Ahmad Rivai bekerja di koran “Bintang Hindia”. Majalah ini mengalami sukses besar. Di koran ini, ia berjuang keras membangkitkan kesadaran orang Hindia agar bisa mengejar kemajuan.

Rivai meninggalkan koran ini tahun 1907. Setelah itu, tiga tahun kemudian, Bintang Hinda pun meredup. Ahmad Rivai sudah merampungkan gelar doktoralnya. Ia sempat pulang ke tanah-airnya dan terlibat aktivitas pergerakan di sana.

Tahun 1919, Rivai kembali ke Eropa. Di sinilah ia mulai terlibat di koran “Bintang Timur”. Melalui Bintang Timur, Rivai aktif menelanjangi kebusukan kolonialisme dan menyokong pergerakan pemuda Indonesia di Belanda.

Pada periode itu, Bintang Timoer melaporkan secara khusus tentang kelompok Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, yang salah satu anggotanya adalah Bung Hatta, yang kemudian hari akan menjadi Wakil Presiden Indonesia pertama.

Pemimpin Redaksi Bintang Timoer, Parada Harahap, menyebut tulisan-tulisan Abdul Rivai sebagai “tajam, meski diatur segala sederhana, tetapi sampai beripuh menusuk jantung, membangunkan semangat yang hampir terpendam.”

Abdul Rivai sering menulis reportase mengenai kegiatan pergerakan pemuda-pemuda Indonesia di Belanda. Ia juga menggalang berbagai bantuan untuk membantu pemuda-pemuda tersebut.

Tahun 1932, Rivai kembali lagi ke tanah air. Ia membuka klinik pengobatan di Tanah Abang. Selain itu, ia juga tetap bekerja membantu Bintang Timur. Akhirnya, pada 16 oktober 1937, Abdul Rivia menghembuskan nafas terakhir.

ANNA YULIA, kontributor Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid