59 Tahun Hari Tani Nasional, Sudahkah Petani dan Desa Terbebas dari Kemiskinan?

Peningkatan anggaran untuk perlindungan sosial dan pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kunci mengatasi kemiskinan.

Hal tersebut tersampaikan dalam pembukaan Pekan Perlindungan Sosial Asia-Pasifik 2019, di Manila, Filipina, pada 9 September 2019 lalu.

Bank Pembangunan Asia (ADB) menyampaikan, di kawasan Asia-Pasifik ada 300 juta orang hidup dalam kondisi sangat miskin dan lebih dari 830 juta orang hidup dengan 1,9 Dollar AS per hari.

Indonesia, salah satu negara di kawasan ini, punya tingkat kemiskinan pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen atau sekitar 25,14 juta orang. Biro Pusat Statistik (BPS) mengklaim, angka kemiskinan tersebut sudah menurun sejak September 2018, yakni 9,66 persen.

Namun, jika dicermati, penurunan angka kemiskinan itu tidak disumbang oleh perbaiki fundamental ekonomi Indonesia, khususnya sektor industri dan pertanian, melainkan oleh kucuran bantuan sosial dan beras untuk rakyat sejahtera.

Masalahnya, disamping soal jumlah, perlu melihat disparitas kemiskinan antara desa dan kota. Kemiskinan di kota sebesar 6.69 persen, sedangkan di desa berkisar 12,85 persen. Ini menunjukkan bahwa masyarakat desa, yang notabene petani, masih identik dengan kemiskinan.

Kado di Hari Tani Nasional

Kabar buruknya, pada peringatan 59 tahun Hari Tani Nasional pada 24 September mendatang, petani dan rakyat Indonesia justru akan mendapat kado pahit.

Rencananya, pada hari itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pertanahan.

Alih-alih memastikan hak setiap warga negara terhadap tanah, sebagaimana dimandatkan UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, RUU Pertanahan ini justru mengembalikan sebagian politik pertanahan di zaman kolonialisme Belanda.

Pada 1870-an, kolonialis Belanda melalui Agrarische Wet menjalankan politik penguasaan tanah lewat domeinverlkaring dan sistem sewa tanah. Melalui domeinverklaring, pemerintah Belanda merampas tanah-tanah yang tak bertuan atau tanah-tanah yang tak dapat dibuktikan kepemilikannya. Tanah-tanah itu diambil alih menjadi domein (milik) Negara. Lalu, setelah tanah terkonsentrasi di tangan Negara, barulah diserahkan kepada investor/swasta.

Cara pandang hukum pertanahan kolonial itu dihidupkan dalam RUU Pertanahan. Memang namanya bukan domeinverklaring, tetapi menggunakan istilah yang seolah-olah netral: hak pengelolaan.

Dengan hak pengelolaan itu, Negara boleh menyerahkannya tanah-tanah yang dikuasainya kepada pihak ketiga lewat pemberian Hak Guna Usaha (HGB), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai.

Dengan hak pengelolaan itu, pemerintah yang mendapat diskresi besar dalam RUU ini bisa menertibkan tanah-tanah yang legalitasnya tidak terbuktikan atau tidak didaftarkan ulang, untuk diubah menjadi tanah Negara.

Lalu, setelah menjadi tanah negara, dengan hak pengelolannya, Negara bisa menyerahkan tanah tersebut ke pihak ketiga melalui skema HGU, HGB, maupun hak pakai. Persis dengan skema Domeinverklaring di zaman Hindia-Belanda.

Apalagi di RUU ini diatur tentang Lembaga Pengelola Tanah, yang tak ubahnya bank tanah, yang mengumpulkan tanah dan sekaligus menyediakannya untuk berbagai kepentingan, termasuk investasi.

Tidak hanya itu, RUU ini masih memberi perlakuan khusus kepada investor. Dalam RUU ini, pemberian HGU bisa diperpanjang dua kali, hingga total 90 tahun. Padahal, dalam UUPA, HGU hanya boleh diperpanjang sekali.

Tidak hanya itu, pemegang hak yang menguasai tanah melebihi batas maksimum hanya diwajibkan membayar pajak atas kelebihan tanahnya. Akibatnya, konsentrasi penguasaan tanah di tangan korporasi makin tak terkendali.

Masalahnya lagi, RUU ini juga tak bisa diharapkan menyelesaikan konflik agraria yang marak terjadi. Penyebabnya, RUU ini hanya melihat konflik agraria itu sebagai sengketa tanah biasa, sehingga cukup diselesaikan dengan pembentukan Pengadilan Pertanahan. Padahal, faktanya, konflik agraria itu sering berdimensi ekonomi-politik, yang memperhadapkan korporasi plus pemerintah versus rakyat kecil, sehingga butuh pendekatan politik.

Lebih parah lagi, RUU ini berpotensi mengkriminalisasi petani, masyarakat adat, maupun aktivis pejuang agraria yang menentang penggusuran atau perampasan tanah. Pasalnya, dalam RUU ini ada ancaman pidana terhadap mereka yang dianggap menghalangi petugas atau aparat hukum ataupun tuduhan melakukan permufakatan jahat.

Keharusan Reforma Agraria

Salah satu persoalan mendasar di sektor pertanahan adalah ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68.  Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya tanah. 

Ketimpangan agraria itu, yang menyebabkan semakin banyak petani tak bertanah dan petani gurem, menjadi salah satu penyebab kemiskinan di desa.

Harusnya, kalau pemerintah mau mengurangi tingkat kemiskinan di desa, rakyat desa harus diberi akses pada faktor-faktor produksi, terutama tanah. Dan jalannya hanya: reforma agraria.

Sayang sekali, RUU Pertanahan tidak membahas detail soal reforma agraria: prinsip-prinsipnya, tujuannya, langkah-langkahnya, lembaga penyelenggaranya, pendanaannya, hingga bentuk dukungan untuk memastikan tanah yang dibagikan itu bisa produktif.

Presiden Jokowi sudah menerbitkan Perpres nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Tetapi Perpres ini belum begitu kuat untuk merombak ketidakadilan agraria, termasuk penguasaan dan pemanfaatan tanah, di Indonesia. Apalagi, pada prakteknya, pemerintah lebih mengedepankan sertifikasi ketimbang redistribusi.

Menteri yang ditunjuk Jokowi sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil, malah menuding UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sudah terlalu kuno. Alasannya, antara lain, karena ketika UU itu dibuat tahun 1960-an, 90 persen rakyat Indonesia masih hidup di sektor agraria.

Faktanya hari ini, merujuk ke data yang disediakan oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian pada Februari 2018, disebutkan tenaga kerja di sektor pertanian masih merupakan penyumbang tenaga kerja terbesar yang mencapai 36,91 juta atau 28,23 persen dari total tenaga kerja Indonesia.

Menurut saya, kalau pemerintah ingin menyusun RUU Pertanahan, maka acuannya harus tetap pada UUPA 1960. Meskipun UUPA sudah berusia 59 tahun, tetapi prinsip-prinsipnya masih relevan dan selaras dengan cita-cita bernegara/berbangsa kita: mewujudkan masyarakat adil dan makmur. UUPA 1960 adalah turunan dari pasal 33 UUD 1945 di sektor agraria.

Karena itu, RUU Pertanahan harusnya memastikan penataan sumber daya agraria agar berkeadilan sosial, sehingga bisa menghapuskan kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan. Dan supaya berkeadilan sosial, mau tidak mau jalannya adalah reforma agraria.

Secara kelembagaan, agar reforma agraria ini bisa dikerjakan serius,  pemerintahan Jokowi perlu membentuk Kementerian Agraria yang mengkoordinasikan Kementerian Agraria dan Tata Ruan, Kepala BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa, dan Kementerian Pertanian. Sehingga tidak ada lagi kebijakan agraria yang sifatnya sektoral dan saling tumpang-tindih.

Dan seperti dengan kutipan di pembukaan tulisan ini, selain mendorong reforma agraria, peningkatan anggaran sosial dan pemberdayaan manusia di desa perlu ditingkatkan. Regenerasi di sektor pertanian perlu dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia di sektor pedesaan dan aplikasi teknologi ke sektor pertanian.

Ahmad Rifai, Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid