3 Pertanyaan Kritis KontraS Terkait Penggusuran Kalijodo

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengajukan tiga pertanyaan kritis terkait rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menertibkan kawasan Kalijodo di Jakarta Utara.

Pertama, apakah merelokasikan warga Kalijodo mampu membawa solusi berkelanjutan pada kebutuhan ekonomi, sosial, partisipasi warga? Sejauh mana publik paham peta dan rencana pemerintah dalam Operasi Kalijodo?

“Jangan-jangan yang dibutuhkan oleh warga Kalijodo saat ini adalah jaminan rasa aman dengan pengelolaan transparansi kota dengan perspektif HAM dan demokrasi,” kata koordinator KontraS, Haris Azhar, di Jakarta, Rabu (17/2/2016).

Kedua, apa landasan hukum dan kebijakan politik lokal Gubernur DKI Jakarta untuk menggunakan kewenangannya dalam mengkoordinasikan kepolisian dan militer dalam Operasi Kalijodo 2016 ini?

Sebab, menurut Haris, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak memberi wewenang kepada Gubernur untuk memobilisasi aparat TNI/Polri dalam mengimplementasikan kebijakan politik lokal.

Ketiga, apa komitmen dan pertanggungjawaban Gubernur DKI Jakarta jika operasi penggusuran Kalijodo memicu diskriminasi vertikal-horizontal, kekerasan yang tidak bisa dikendalikan (baik dilakukan oleh aparat keamanan negara dan kelompok sipil lainnya), dan pelanggaran HAM yang masif sebagai akibat dari perencanaan yang minim konsep HAM?

Menurut Haris, tiga pertanyaan ini harus dijawab oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama untuk memastikan konsepnya jelas dan berperspektif HAM.

“Selama praktik penggusuran atas nama ketertiban sosial, keamanan, dan untuk memperindah tata ruang kota tidak bersinggungan dengan jaminan negara untuk melindungi hak-hak dasar warga dalam skema perlindungan hak-hak asasi manusia,” tegasnya.

Dia mengingatkan, pengelolaan kota dengan berperspektif HAM telah menjadi tren global yang dilakukan di banyak tempat, kota dan ibukota di dunia.

Dalam konteks itu, jelas dia, ada peran dari suatu pemerintahan hingga di tingkat lokal untuk menjamin keberlanjutan hak-hak asasi manusia dan mempromosikan, melindungi dan memajukan HAM secara progresif.

Juga ada jaminan atas hak atas pendidikan, hak atas perumahan, hak atas kesehatan, hak atas lingkungan hidup serta hukum dan ketertiban yang secara langsung berhubungan dengan pelaksanaan HAM.

Lantas, apa solusi KontraS untuk Gubernur Ahok?

KontraS memperkenalkan Deklarasi Gwangju (2011) kepada Gubernur Ahok. Deklarasi ini menjelaskan bahwa kota yang ramah HAM adalah kota yang memiliki tata kelola pemerintahan HAM secara kolektif antara pemerintah lokal, DPRD, masyarakat sipil, kelompok swasta, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mendorong peningkatan kualitas hidup semua warga tanpa terkecuali.

“Partisipasi, kepemimpinan yang bertanggung jawab, transparan, memberdayakan warga dan menjunjung tinggi supremasi hukum adalah kunci Jakarta ramah HAM,” paparnya.

Nah, jika Aho mengabaikan hal di atas, maka di mata Haris, penggusuran yang dilakukan Ahok hanyalah business as usualdan menempatkan Ahok sebagai gubernur penggusur yang anti masyarakat kecil.

Muhammad Idris

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid